"Cheche Kirani menggelar konferensi pers tanpa dihadiri suaminya. Mungkin suaminya tak bisa menyertai Cheche Kirani karena mengumpulkan tenaga untuk nanti malam...." (Bibir Plus, 21 Mei 2005)
KUTIPAN di atas adalah pengantar atau intro narator infotainment Bibir Plus di SCTV tentang pernikahan untuk kedua kalinya artis sinetron Cheche Kirani. Faktanya, dalam tayangan itu Cheche Kirani membeberkan tentang awal pertemuan dan prosesi pernikahannya dengan guru spritualnya yang bernama Haji Ahmad Hadi Wibawa alias Aa Hadi. Saat itu Cheche Kirani juga meminta maaf karena suaminya tak bisa ikut konferensi pers dengan alasan belum siap.
Namun, pengantar narator dibuat lain dengan fakta dari pernyataan Cheche Kirani. Pengantar di atas bisa ditebak, berbau jorok dan saru. Prasa "nanti malam" sudah pasti ditangkap pemirsa sebagai hubungan suami istri. Ini jelas di luar fakta dan menyesatkan karena Cheche Kirani tidak menyinggung-nyinggung soal malam pertama atau tentang hubungan intim.
Awalnya saya menganggap pengantar narator itu lucu dan nakal. Tetapi belakangan saya sadar dan menganggapnya itu adalah imajinasi liar dari penulis naskahnya. Atau memang otak penulis naskahnya sudah jorok[?].
Etika
Setelah membaca berita di surat kabar yang menyebutkan para pewarta infotainment sudah diakui sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia, keheranan saya semakin bertambah. Lebih-lebih setelah Ketua PWI Pusat Tarman Azzam dan Sekjen PWI Pusat Wina Armanda terang-terangan membela dua pewarta infotainment yang kabarnya dilempar asbak oleh artis bahenol Sarah Azhari. Terlepas dari siapa yang benar dan salah.
Konsekuensi pewarta masuk sebuah organisasi adalah harus mentaati kaidah dan etika. Bukankah dalam jurnalistik, pendapat pribadi diharamkan kecuali dalam tulisan analisis, opini atau esai?
Aturannya sangat gamblang. Dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) poin tiga tertulis: “Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.”
Begitu juga dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI Pasal 5 tak kalah terangnya: “Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interpretasi dan opini wartawan, agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.”
Contoh kasus di atas hanya sebagian kecil saja dari "dosa-dosa" industri infotainment. Sebenarnya masih banyak lagi kasus-kasus yang tak kalah hebohnya seperti kasus Parto Patrio yang terpaksa menyalakkan pistol karena marah ditanya soal istri kedua atau Nicky Astria yang sampai menangis karena mobilnya dihadang bahkan digedor-gedor pewarta infotainment yang meminta “konfirmasi” soal perceraiannya.
Persaingan yang tinggi kadang semua cara dilakukan demi sebuah kelas bernama eksklusif. Model-model peliputan paparazzi juga kerap digunakan. Kini banyak infotainment yang meliput berita tanpa sepengetahuan narasumber melalui canded camera dan hidden camera. Padahal, wartawan harus mengenalkan identitasnya dalam meliput kecuali memang investigatif reporting. Itu sangat dimungkinkan.
Ladang Bisnis
Infotainment adalah bisnis dari dunia penyiaran yang cukup menjanjikan. Ektremnya, dengan menjual kejelekan orang atau artis pendatang yang kecentilan, rumah produksi dapat membuat sebuah acara dan laku dijual. Apalagi dengan kewajiban televisi untuk memenuhi proporsi content domestik paling sedikit 60 persen menurut ketentuan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, infotainment menjadi solusi jitu.
Memproduksi infotainment sangat mudah. Kasarnya, cuma bermodalkan kamera dan peralatan editing sewaan, sekelompok orang dapat membuat tayangan infotainment. Jelas ini lebih mudah dan biayanya ringan. Tidak seperti membuat sinetron yang satu episodenya bisa mencapai Rp 50 juta bahkan lebih. Infotainment tidak menghabiskan biaya setengahnya.
Kini kita mengenal “raja-raja” infotainment. Mereka tidak asing lagi karena sebelumnya sudah dikenal sebagai pewarta di media cetak baik harian atau medium hiburan. Sebut saja Ilham Bintang, Remy Sutansyah, Gandung Bondowoso, Syaiful Bayan, Dimas Supriyanto, Amazon Dalimunthe, Zoel Fauzi Lubis, dan banyak lagi. Bahkan Ketua PWI Pusat Tarman Azzam juga terlibat di PT Bintang Advis Multimedia, rumah produksi milik Ilham Bintang yang di antaranya memproduksi Cek & Ricek (C&R), Halo Selebriti dan Kroscek.
Bahkan “Raja Sinetron” Raam Punjabi juga mencoba peruntungan di infotainment dengan produknya Bibir Plus. Kendati saya melihatnya, Bibir Plus sebagai sebuah produk kehumasan dan produk “masturbasi”. Artinya, programnya banyak menayangkan artis-artis di sekitar Multivision Plus. Ini tentu saja saya melihatnya sebagai sebuah produk untuk kesenangan diri sendiri bukan untuk pemirsa.
Memang sudah menjadi sunatullah, sesuatu yang menguntungkan secara ekonomi lambat atau cepat akan dikerubungi peminat lainnya. Begitu juga dengan dunia infotainment.
Maka maraklah rumah-rumah produksi yang membuat beragam infotainment dengan kemasan seragam. Cuma nama saja yang beda. Mereka bersaing dan mencoba membuat sebuah liputan seeksklusif mungkin. Dalam pengertian tim kreatif infotainment, eksklusif masih diterjemahkan dengan paling perawan, paling dulu dan yang penting beda. Mereka tidak melihat bahwa eksklusif dalam pengertian substansi, seperti angle pemberitaan.
Bila diamati, infotainmet sekarang nyaris mirip surat kabar harian zaman Orde Baru. Berita atau laporannya seragam. Ini karena pewarta infotainment seperti wartawan harian. Mereka berburu berita yang sama. Alhasil, berita infotainment pun seragam. Benar-benar tidak kreatif.
Tanggung Jawab PWI
Jurnalisme di Indonesia masih jauh dari cita-cita yang ideal, kini kembali lagi direpotkan dengan kontroversi dan ulah liputan pewarta infotainment. Wartawan bodrex dan wartawan amplop saja masih susah diberantas kini kembali pewarta infotainment banyak dikecam.
PWI sebagai institusi yang menaungi pewarta infotainment sepertinya perlu segera meningkatkan profesionalisme mereka untuk menghindari korban lebih banyak. Sebab, bila ini dibiarkan aksi dari beberapa pewarta infotainment dapat merusak citra jurnalis secara umum.
Profesionalisme liputan dan pelaporan sepertinya harus mendapat penekanan khusus. Suatu saat saya berharap tidak ada lagi pewarta infotainment yang bertanya: membuat isu apa hari ini? Tetapi idealnya, bagaimana mengemas isu hari ini? Lebih jauh, bila memang pewarta infotainment sudah diakui secara pasti sebagai jurnalis harus berpikir bagaimana mencerdaskan bangsa.[]
Jakarta, 16 Juli 2005
ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori
makasih ya,aku lumayan dapat satu lagi bahan bwt ngerjain tugasku.
ReplyDeletekomunikasi 04 UGM
Wah menarik sekali dan saya sangat sependapat dgn Anda! Yg jls tdklah mudah untuk menjadi wartawan. Btw salam kenal Bung.
ReplyDeleteAgus Blues
critical yet quite polite and encouraging the new journalist generation to do better...
ReplyDeleteeducation is the most important goal.
lumayan nambah nilai tugas.....
ReplyDeletelumayan nambah nilai tugas.....
ReplyDelete