Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2005

Dosa Infotainment dan Tanggung Jawab PWI

"Cheche Kirani menggelar konferensi pers tanpa dihadiri suaminya. Mungkin suaminya tak bisa menyertai Cheche Kirani karena mengumpulkan tenaga untuk nanti malam...." ( Bibir Plus , 21 Mei 2005) KUTIPAN di atas adalah pengantar atau intro narator infotainment Bibir Plus di SCTV tentang pernikahan untuk kedua kalinya artis sinetron Cheche Kirani. Faktanya, dalam tayangan itu Cheche Kirani membeberkan tentang awal pertemuan dan prosesi pernikahannya dengan guru spritualnya yang bernama Haji Ahmad Hadi Wibawa alias Aa Hadi. Saat itu Cheche Kirani juga meminta maaf karena suaminya tak bisa ikut konferensi pers dengan alasan belum siap. Namun, pengantar narator dibuat lain dengan fakta dari pernyataan Cheche Kirani. Pengantar di atas bisa ditebak, berbau jorok dan saru. Prasa "nanti malam" sudah pasti ditangkap pemirsa sebagai hubungan suami istri. Ini jelas di luar fakta dan menyesatkan karena Cheche Kirani tidak menyinggung-nyinggung soal malam pertama atau tentang hu

Korban Televisi Terus Berjatuhan

AKIBAT Meniru Film India, Bocah SD Kehilangan Nyawa . Judul di harian Republika edisi 12 Juni 2005, membuat saya terhenyak. Dalam tulisan itu disebutkan, Maliki (13), tewas dengan leher terjerat tali tambang. Menurut keluarga korban, Maliki tewas terjerat tali ayunan saat mempraktikkan adegan bunuh diri dalam film India yang tengah ditontonnya di sebuah stasiun televisi. Kasus Maliki, semakin menambah daftar panjang akibat negatif tayangan televisi terhadap anak-anak. Berbagai tulisan, kertas kerja, dan penelitian sudah banyak membeberkan dampak negatif si kotak ajaib itu. Bahkan, tudingan miring terhadap televisi sudah merebak sejak kelahirannya pada era 50-an. Kehadiran kotak Dewa Janus itu tak bisa ditolak karena televisi juga adalah medium pembelajaran yang sangat efektif. Karena itu paradigma atau kajian terhadap televisi seharusnya segera diubah. Kajian harus difokuskan pada pengaruh positif dan mengoptimalkan manfaatnya. Sebab, pengaruh negatif televisi otomatis bergaris linier

Bangga (Aku) Jadi Orang Sunda, Euy!

Pikiran Rakyat , 8 Oktober 2005 Taufik Ismail memberi judul salah satu buku kumpulan puisinya Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (Yayasan Anda, 1998). Bila Taufik Ismail boleh mengungkapkan nada satir lewat puisinya, aku juga berhak memberi judul tulisan ini, Bangga (Aku) Jadi Orang Sunda . Kata 'bangga' dalam konteks tulisan aku dan 'malu' dalam konteks Taufik Ismail sebenarnya tidak ada bedanya. Keduanya sama-sama secara eksplisit menunjukkan kecintaan yang mendalam kepada tanah kelahiran dan bangsanya lebih jauh. Sebagai orang Sunda pituin, aku sangat miris bila membaca tulisan otokritik dari pemikir yang tak diragukan kesundaannya, Kang Ajip Rosidi. Paling tidak dua tulisan terakhir Kang Ajip di harian Pikiran Rakyat membuat aku tergerak untuk menulis artikel ini. Berikut beberapa kegundahan Kang Ajip. "Kalau kegiatan seni dan ilmiah tidak didorong hidupnya di Bandung, demikian pula kalau kegiatan penerbitan buku hanya terbatas kepada buku-buku ajar untuk menge