SEPERTINYA Seputar Indonesia RCTI identik dengan konflik. Kabar terbaru, manajemen pemberitaan televisi swasta pertama di Tanah Air ini guncang lantaran estafet pucuk pimpinan yang tidak mulus [TEMPO, 17-23 Maret 2003]. Pemicunya, manajemen puncak ngotot memasukkan Derek Manangka menjadi Pemimpin Redaksi Seputar Indonesia. Padahal, konon di kalangan jagat wartawan, Derek yang mantan wartawan Media Indonesia ini banyak “dosa”-nya.
Menariknya, konflik di redaksi RCTI ini dibumbui isu politis. Konon, Derek bisa masuk ke RCTI lantaran lobinya yang kuat terhadap Taufik Kiemas, suami Presiden Megawati Sukarnoputri. Tentu saja Taufik tidak turun langsung melainkan melalui tangan kanannya, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Panda Nababan yang juga wartawan senior ini. Konon, Derek yang mantan Pemimpin Perusahaan Sinar Harapan ini sengaja ditanam di “Televisi Oke” ini untuk kebutuhan PDI-P menggalang opini publik dalam Pemilu 2004.
Pemimpin redaksi adalah jabatan strategis dalam sebuah stasiun televisi. Ia tidak saja sebagai simbol tetapi juga bisa menentukan hitam-putihnya pemberitaan. Sebab, sudah menjadi rahasia umum, pemimpin redaksi baik di media cetak ataupun di televisi mempunyai “hak veto”. Bahkan di beberapa stasiun televisi partikelir, pemimpin redaksi setara dengan direksi lainnya. Pada tahap inilah, pemimpin redaksi tidak hanya bersentuhan dengan masalah ideal (objektivitas, indenpendensi) tetapi sudah bermain pada tingkat kalkulasi ekonomi dan politis.
Bila merunut sejarahnya, konflik di pemberitaan RCTI yang berbau politis memang bukan yang pertama. Ingat, kasus yang terjadi pada 1999 ketika Pimpinan PT Sindo yang memproduksi Seputar Indonesia, Buletin Siang dan Buletin Malam RCTI dituntut mundur oleh karyawannya yang lain karena dalam kebijakan pemberitaannya terlalu memihak kepentingan Golkar dan BJ Habibie yang saat itu berkuasa. Mereka yang dituntut mundur adalah presenter Chrys Kelana, Desy Anwar dan Adolf Posumah.
Ketiganya dinilai oleh sebagian besar awak Sindo terlalu memihak Golkar baik dalam mengolah berita maupun dalam acara-acara talk show RCTI. Chrys Kelana yang merupakan salah seorang kunci dalam produksi berita-berita RCTI adalah kader Golkar tulen. Bahkan dalam Pemilu, Chrys termasuk juru kampanye Golkar. Sementara itu, presenter Desy Anwar disebut-sebut para staf RCTI sebagai kader Golkar terselubung.
Desy adalah adik kandung Dewi Fortuna Anwar, salah seorang tangan kanan Habibie. Selain intervensi-intervensi yang dilakukan orang-orang Golkar dalam acara-acara yang dibuat oleh PT Sindo, juga beredar kabar Badan Intelijen ABRI kerap campur tangan bahkan menentukan kebijakan redaksional.
Kenapa intervensi itu harus ada dan menimpa RCTI bukan menimpa televisi lain? Secara eksplisit ini menunjukkan bahwa manajemen RCTI, terutama di manajemen puncak tak mempunyai kemandirian dan mempunyai posisi tawar yang rendah. Akibatnya ketika tangan penguasa mencengkram, manajemen tak bisa mengelak. Atau bisa jadi manajemen RCTI mempunyai kepentingan sesaat. Sebagai produk kapitalis, RCTI bisa saja “dikorbankan” oleh pemilik modal terbesar dan gantinya penguasa memberikan sesuatu jaminan, konsesi, atau bidang usaha lain.
Entah apapun yang menjadi tujuan manajemen puncak RCTI dengan hadirnya Derek di RCTI adalah sebuah risiko. Masyarakat hanya bisa menilainya nanti dalam produk pemberitaan RCTI. Tetapi bila melihat Seputar Indonesia yang masih jauh di bawah pemberitaan televisi partikelir lain, akan semakin meyakinkan masyarakat bahwa memang di RCTI ada “sesuatu yang salah”. Lebih-lebih sudah menjadi konsumsi umum, bahwa Derek sebenarnya tak terlalu cakap dalam mengelola media. Lihat saja, ia gagal mengelola Tabloid Realitas milik Grup Media Indonesia dan Koran Mandiri milik pengusaha Peter F. Gontha.[]
Jakarta, Maret 2003
Menariknya, konflik di redaksi RCTI ini dibumbui isu politis. Konon, Derek bisa masuk ke RCTI lantaran lobinya yang kuat terhadap Taufik Kiemas, suami Presiden Megawati Sukarnoputri. Tentu saja Taufik tidak turun langsung melainkan melalui tangan kanannya, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Panda Nababan yang juga wartawan senior ini. Konon, Derek yang mantan Pemimpin Perusahaan Sinar Harapan ini sengaja ditanam di “Televisi Oke” ini untuk kebutuhan PDI-P menggalang opini publik dalam Pemilu 2004.
Pemimpin redaksi adalah jabatan strategis dalam sebuah stasiun televisi. Ia tidak saja sebagai simbol tetapi juga bisa menentukan hitam-putihnya pemberitaan. Sebab, sudah menjadi rahasia umum, pemimpin redaksi baik di media cetak ataupun di televisi mempunyai “hak veto”. Bahkan di beberapa stasiun televisi partikelir, pemimpin redaksi setara dengan direksi lainnya. Pada tahap inilah, pemimpin redaksi tidak hanya bersentuhan dengan masalah ideal (objektivitas, indenpendensi) tetapi sudah bermain pada tingkat kalkulasi ekonomi dan politis.
Bila merunut sejarahnya, konflik di pemberitaan RCTI yang berbau politis memang bukan yang pertama. Ingat, kasus yang terjadi pada 1999 ketika Pimpinan PT Sindo yang memproduksi Seputar Indonesia, Buletin Siang dan Buletin Malam RCTI dituntut mundur oleh karyawannya yang lain karena dalam kebijakan pemberitaannya terlalu memihak kepentingan Golkar dan BJ Habibie yang saat itu berkuasa. Mereka yang dituntut mundur adalah presenter Chrys Kelana, Desy Anwar dan Adolf Posumah.
Ketiganya dinilai oleh sebagian besar awak Sindo terlalu memihak Golkar baik dalam mengolah berita maupun dalam acara-acara talk show RCTI. Chrys Kelana yang merupakan salah seorang kunci dalam produksi berita-berita RCTI adalah kader Golkar tulen. Bahkan dalam Pemilu, Chrys termasuk juru kampanye Golkar. Sementara itu, presenter Desy Anwar disebut-sebut para staf RCTI sebagai kader Golkar terselubung.
Desy adalah adik kandung Dewi Fortuna Anwar, salah seorang tangan kanan Habibie. Selain intervensi-intervensi yang dilakukan orang-orang Golkar dalam acara-acara yang dibuat oleh PT Sindo, juga beredar kabar Badan Intelijen ABRI kerap campur tangan bahkan menentukan kebijakan redaksional.
Kenapa intervensi itu harus ada dan menimpa RCTI bukan menimpa televisi lain? Secara eksplisit ini menunjukkan bahwa manajemen RCTI, terutama di manajemen puncak tak mempunyai kemandirian dan mempunyai posisi tawar yang rendah. Akibatnya ketika tangan penguasa mencengkram, manajemen tak bisa mengelak. Atau bisa jadi manajemen RCTI mempunyai kepentingan sesaat. Sebagai produk kapitalis, RCTI bisa saja “dikorbankan” oleh pemilik modal terbesar dan gantinya penguasa memberikan sesuatu jaminan, konsesi, atau bidang usaha lain.
Entah apapun yang menjadi tujuan manajemen puncak RCTI dengan hadirnya Derek di RCTI adalah sebuah risiko. Masyarakat hanya bisa menilainya nanti dalam produk pemberitaan RCTI. Tetapi bila melihat Seputar Indonesia yang masih jauh di bawah pemberitaan televisi partikelir lain, akan semakin meyakinkan masyarakat bahwa memang di RCTI ada “sesuatu yang salah”. Lebih-lebih sudah menjadi konsumsi umum, bahwa Derek sebenarnya tak terlalu cakap dalam mengelola media. Lihat saja, ia gagal mengelola Tabloid Realitas milik Grup Media Indonesia dan Koran Mandiri milik pengusaha Peter F. Gontha.[]
Jakarta, Maret 2003
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada