Judul : Seni Wawancara Radio
Judul Asli : Interviewing for Radio
Penulis : Jim Beaman
Penerjemah : Christian Evert dan Wandy N. Tuturoong
Penerbit pertama : Routledge, 2000
Penerbit : Radio 68H (PT Media Lintas Inti Nusantara),
Cetakan Pertama, Juni 2002
Tebal : x + 235 halaman
LIMA tahun terakhir, berita radio bukan sekadar insert suatu program tetapi telah menjadi program tersendiri. Pengelola radio siaran ramai-ramai menyediakan space acaranya untuk menyiarkan berita. Format acara pun ada yang berubah total tetapi ada juga yang cuma menggeser-geser acara yang kurang diminati pemasang iklan.
Fenomena ini juga diikuti kelahiran kantor berita radio dan jaringan advokasi radio siaran hingga ke pelosok kabupaten. Pada Oktober 1998 lahir Kantor Berita Quadrant. Kantor berita ini menyuplai berita untuk grup sendiri di bawah manajemen Masima Corporation, seperti Prambors, M97, Delta, Female, Bahana, dan radio satu grup yang berada di daerah.
Setahun kemudian, tepatnya April 1999 Institut Studi Arus Informasi (ISAI) secara resmi mengoperasikan Kantor Berita Radio 68H yang berlokasi di Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur. Dana yang dihabiskan untuk membangun kantor berita itu mencapai Rp 2 miliar dari hibah Media Development Loan Fund (MDLF) dan Asia Foundation. Berbeda dengan Quadrant yang dibentuk setingkat divisi pemberitaan, 68H dibuat sangat serius dan memiliki 130 jaringan radio di daerah. Radio-radio di daerah juga mengirimkan berita ke pusat yang kemudian disebarkan kembali melalui satelit ke seluruh jaringan di 20 provinsi dan luar negeri.
Sayangnya, masih banyak pemberitaan radio yang dibuat asal jadi. Malah ada beberapa stasiun radio yang “malas” dan cukup mengutip dari koran harian atau situs di internet. Ini bisa dimaklumi karena jurnalisme radio di Indonesia terbilang baru dipraktikkan, setelah sebelumnya di masa Orde Baru dimanjakan sekaligus dipaksa untuk merelay 13 program berita dari RRI.
Satu di antara beberapa kelemahan jurnalisme radio di Indonesia adalah dalam soal teknik wawancara. Wawancara sebagai metode untuk mengungkap fakta dalam jurnalisme, jelas bukan hanya sebatas tanya-jawab yang linier antara sumber berita dengan reporter atau presenter dalam talk show. Ada hal yang lebih luas dalam wawancara yaitu seni wawancara. Soal seni wawancara ini yang rata-rata tak dikuasai reporter-reporter pemula. Bahkan tak menutup kemungkinan dialami juga reporter senior.
Untuk kasus terakhir, mungkin bisa dijadikan contoh saat Direktur Radio 68H Santoso begitu percaya diri ketika mewawancarai Xanana Gusmao ketika masih menjadi tahanan pemerintah Indonesia di Rutan Salemba, Jakarta Pusat. Boleh dibilang Santoso adalah wartawan senior yang sudah malang-melintang di jagat pers sehingga sempat digebuk Orde Baru karena termasuk pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Namun ketika akan memindahkan hasil wawancara dari pita kaset ke sistem digital, Santoso harus kecewa karena hanya mendapatkan suara mendengung. Setelah berpikir sejenak, Santoso baru tahu suara itu bersumber dari kipas angin yang dipasang di pojok ruangan ketika wawancara berlangsung. ( hal. vii)
Dari sini jelas bahwa wawancara bukan perkara sederhana. Selain itu, untuk wawancara radio jelas berbeda dengan wawancara jenis lainnya baik dari segi teknik, prosedur, dan pendekatan. Wawancara radio juga membutuhkan kualitas suara yang prima serta pernyataan narasumber yang bernilai berita tinggi.
Kiranya, penerbitan buku Seni Wawancara Radio bisa menjadi medium pencerahan bagi reporter radio siaran di Indonesia. Buku yang ditulis Jim Beaman, yang sangat berpengalaman di Radio BBC Inggris ini, cukup lengkap mengulas hal-hal yang berkaitan dengan wawancara.
Dalam bab pertama misalnya, diulas sejarah wawancara di Inggris. Bab dua mengulas peran dan tujuan wawancara radio yang mencakup hal-hal yang membuat suatu wawancara mengesankan dan dikenang, alasan narasumber bersedia diwawancarai hingga jenis-jenis wawancara.
Memasuki bab tiga pembaca disuguhi bahasan panduan dalam wawancara berupa kode etik yang harus dipatuhi reporter. Misalnya, bagaimana mewawancarai pelaku kriminalitas, anak-anak, hingga wawancara hit and run (cegatan) yang kerap dilakukan reporter di Indonesia.
Buku ini juga dilengkapi nasihat para pakar di bab empat. Nasihat umumnya berkisar dari masalah prosedur, kode etik, teknik, dan atmosfera. Istilah atmosfera adalah lingkungan atau kondisi saat wawancara berlangsung. Sebab, atmosfera juga tak bisa diabaikan karena bisa jadi wawancara batal lantaran situasi dan kondisi tak mendukung. Masalah atmosfera ini sangat tergantung kepada keterampilan personal reporter dalam mengendalikan kelangsungan sebuah wawancara sehingga narasumber merasa nyaman dan terbuka.
Dalam bab lima, baru dibahas soal teknis wawancara. Dari mulai wawancara untuk dokumenter, wawancara lewat satelit, wawancara lewat mobil hingga wawancara untuk program majalah udara. Dalam membahas teknik wawancara, Jim Beaman sangat detail dan rinci sehingga buku ini bisa menjadi buku pegangan. Sedangkan pada bab delapan dan bab sembilan masing-masing membahas cara dan teknik mengevaluasi hasil wawancara.
Buku ini juga dilengkapai bab informasi seputar buku-buku dan kaset panduan dalam wawancara, sekolah dan pusat-pusat pelatihan untuk mendalami jurnalisme radio hingga situs-situs di internet yang memuat panduan praktis cara membuat program radio. Untuk mempermudah pembaca memahami buku, Jim Beaman juga melengkapi bukunya dengan daftar istilah teknis.
Buku setebal 235 halaman ini tentu sangat bermanfaat bagi reporter pemula atau buat para jurnalis senior yang ingin mengasah keterampilan dan kemampuan wawancara. Jelas, wawancara bukan pekerjaan sambilan. Wawancara perlu diasah terutama bagi pengelola radio siaran yang mengklaim sebagai radio berita. Terakhir, tentu saja buku ini bukan hanya ditujukan buat reporter radio tetapi juga bermanfaat bagi reporter di media cetak atau di televisi, termasuk presenter yang harus tampil prima dan mengesankan dengan seni wawancara yang bernas dan cerdas.[]
Lenteng Agung, Agustus 2002
Judul Asli : Interviewing for Radio
Penulis : Jim Beaman
Penerjemah : Christian Evert dan Wandy N. Tuturoong
Penerbit pertama : Routledge, 2000
Penerbit : Radio 68H (PT Media Lintas Inti Nusantara),
Cetakan Pertama, Juni 2002
Tebal : x + 235 halaman
LIMA tahun terakhir, berita radio bukan sekadar insert suatu program tetapi telah menjadi program tersendiri. Pengelola radio siaran ramai-ramai menyediakan space acaranya untuk menyiarkan berita. Format acara pun ada yang berubah total tetapi ada juga yang cuma menggeser-geser acara yang kurang diminati pemasang iklan.
Fenomena ini juga diikuti kelahiran kantor berita radio dan jaringan advokasi radio siaran hingga ke pelosok kabupaten. Pada Oktober 1998 lahir Kantor Berita Quadrant. Kantor berita ini menyuplai berita untuk grup sendiri di bawah manajemen Masima Corporation, seperti Prambors, M97, Delta, Female, Bahana, dan radio satu grup yang berada di daerah.
Setahun kemudian, tepatnya April 1999 Institut Studi Arus Informasi (ISAI) secara resmi mengoperasikan Kantor Berita Radio 68H yang berlokasi di Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur. Dana yang dihabiskan untuk membangun kantor berita itu mencapai Rp 2 miliar dari hibah Media Development Loan Fund (MDLF) dan Asia Foundation. Berbeda dengan Quadrant yang dibentuk setingkat divisi pemberitaan, 68H dibuat sangat serius dan memiliki 130 jaringan radio di daerah. Radio-radio di daerah juga mengirimkan berita ke pusat yang kemudian disebarkan kembali melalui satelit ke seluruh jaringan di 20 provinsi dan luar negeri.
Sayangnya, masih banyak pemberitaan radio yang dibuat asal jadi. Malah ada beberapa stasiun radio yang “malas” dan cukup mengutip dari koran harian atau situs di internet. Ini bisa dimaklumi karena jurnalisme radio di Indonesia terbilang baru dipraktikkan, setelah sebelumnya di masa Orde Baru dimanjakan sekaligus dipaksa untuk merelay 13 program berita dari RRI.
Satu di antara beberapa kelemahan jurnalisme radio di Indonesia adalah dalam soal teknik wawancara. Wawancara sebagai metode untuk mengungkap fakta dalam jurnalisme, jelas bukan hanya sebatas tanya-jawab yang linier antara sumber berita dengan reporter atau presenter dalam talk show. Ada hal yang lebih luas dalam wawancara yaitu seni wawancara. Soal seni wawancara ini yang rata-rata tak dikuasai reporter-reporter pemula. Bahkan tak menutup kemungkinan dialami juga reporter senior.
Untuk kasus terakhir, mungkin bisa dijadikan contoh saat Direktur Radio 68H Santoso begitu percaya diri ketika mewawancarai Xanana Gusmao ketika masih menjadi tahanan pemerintah Indonesia di Rutan Salemba, Jakarta Pusat. Boleh dibilang Santoso adalah wartawan senior yang sudah malang-melintang di jagat pers sehingga sempat digebuk Orde Baru karena termasuk pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Namun ketika akan memindahkan hasil wawancara dari pita kaset ke sistem digital, Santoso harus kecewa karena hanya mendapatkan suara mendengung. Setelah berpikir sejenak, Santoso baru tahu suara itu bersumber dari kipas angin yang dipasang di pojok ruangan ketika wawancara berlangsung. ( hal. vii)
Dari sini jelas bahwa wawancara bukan perkara sederhana. Selain itu, untuk wawancara radio jelas berbeda dengan wawancara jenis lainnya baik dari segi teknik, prosedur, dan pendekatan. Wawancara radio juga membutuhkan kualitas suara yang prima serta pernyataan narasumber yang bernilai berita tinggi.
Kiranya, penerbitan buku Seni Wawancara Radio bisa menjadi medium pencerahan bagi reporter radio siaran di Indonesia. Buku yang ditulis Jim Beaman, yang sangat berpengalaman di Radio BBC Inggris ini, cukup lengkap mengulas hal-hal yang berkaitan dengan wawancara.
Dalam bab pertama misalnya, diulas sejarah wawancara di Inggris. Bab dua mengulas peran dan tujuan wawancara radio yang mencakup hal-hal yang membuat suatu wawancara mengesankan dan dikenang, alasan narasumber bersedia diwawancarai hingga jenis-jenis wawancara.
Memasuki bab tiga pembaca disuguhi bahasan panduan dalam wawancara berupa kode etik yang harus dipatuhi reporter. Misalnya, bagaimana mewawancarai pelaku kriminalitas, anak-anak, hingga wawancara hit and run (cegatan) yang kerap dilakukan reporter di Indonesia.
Buku ini juga dilengkapi nasihat para pakar di bab empat. Nasihat umumnya berkisar dari masalah prosedur, kode etik, teknik, dan atmosfera. Istilah atmosfera adalah lingkungan atau kondisi saat wawancara berlangsung. Sebab, atmosfera juga tak bisa diabaikan karena bisa jadi wawancara batal lantaran situasi dan kondisi tak mendukung. Masalah atmosfera ini sangat tergantung kepada keterampilan personal reporter dalam mengendalikan kelangsungan sebuah wawancara sehingga narasumber merasa nyaman dan terbuka.
Dalam bab lima, baru dibahas soal teknis wawancara. Dari mulai wawancara untuk dokumenter, wawancara lewat satelit, wawancara lewat mobil hingga wawancara untuk program majalah udara. Dalam membahas teknik wawancara, Jim Beaman sangat detail dan rinci sehingga buku ini bisa menjadi buku pegangan. Sedangkan pada bab delapan dan bab sembilan masing-masing membahas cara dan teknik mengevaluasi hasil wawancara.
Buku ini juga dilengkapai bab informasi seputar buku-buku dan kaset panduan dalam wawancara, sekolah dan pusat-pusat pelatihan untuk mendalami jurnalisme radio hingga situs-situs di internet yang memuat panduan praktis cara membuat program radio. Untuk mempermudah pembaca memahami buku, Jim Beaman juga melengkapi bukunya dengan daftar istilah teknis.
Buku setebal 235 halaman ini tentu sangat bermanfaat bagi reporter pemula atau buat para jurnalis senior yang ingin mengasah keterampilan dan kemampuan wawancara. Jelas, wawancara bukan pekerjaan sambilan. Wawancara perlu diasah terutama bagi pengelola radio siaran yang mengklaim sebagai radio berita. Terakhir, tentu saja buku ini bukan hanya ditujukan buat reporter radio tetapi juga bermanfaat bagi reporter di media cetak atau di televisi, termasuk presenter yang harus tampil prima dan mengesankan dengan seni wawancara yang bernas dan cerdas.[]
Lenteng Agung, Agustus 2002
hai zaya zadin tolong donk kasih tips jadi repoter aku sebagai penyiar pemula nech aku kok lum tau cara jadi reporter.
ReplyDeletejangan lupa main ke www.zadin.blogspot.com