Skip to main content

Qou Vadis TVRI!

TELEVISI Republik Indonesia (TVRI) merayakan ulang tahun yang ke-41 di penghujung Agustus ini. Ultah kali ini terasa istimewa lantaran berbarengan dengan perubahan status dari perusahaan jawatan menjadi perseroan terbatas sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2002. Dengan demikian, TVRI yang selama ini dinyatakan bangkrut secara finansial dapat kembali bernapas lega karena memungkinkan stasiun televisi yang sebelumnya menjadi corong pemerintah itu dapat menggali biaya operasional dari iklan.

Namun demikian, perubahan status juga semakin menambah kekhawatiran sebagian kalangan. Mereka khawatir, status perseroan akan menutup peluang TVRI menjadi televisi publik. Sebab konsep persero lebih berorientasi pada keuntungan (profit oriented). Perubahan status juga akan menyisakan persoalan dan perdebatan panjang. Pasalnya, dalam UU No. 32 Tahun 2003 tentang Penyiaran, TVRI adalah lembaga penyiaran publik.

Jangkauan siaran TVRI mampu meng-cover 42,90% luas wilayah Indonesia dan ditonton 81,90% (169 juta jiwa) penduduk Indonesia. Karyawan TVRI mencapai 7.200 orang, stasiun pemancar yang dimiliki mencapai 402 buah, 14 stasiun penyiaran, dan 8 stasiun produksi.

Seiring reformasi, wacana seputar status TVRI makin menggema. Ada yang mengusulkan menjadi perseroan terbatas dan ada juga yang menginginkan menjadi televisi publik. Lalu kepada siapa TVRI bertangung jawab? Ada yang mengusulkan agar TVRI menjadi televisi publik dan berada di bawah DPR. Ada juga yang mengusulkan TVRI menjadi BUMN dan berada di bawah presiden. Pemerintahan Abdurrahman Wahid akhirnya menjadikan TVRI sebagai perjan. Dengan keluarnya PP No. 36 Tahun 2000, TVRI resmi menjadi jawatan sejak 7 Juni 2000.

Selepas Deppen dibubarkan pada 26 Oktober 1999, TVRI bukan lagi UPT Deppen. Otomatis kebijakan redaksional intern TVRI pun banyak berubah. Wartawan di lapangan dan pimpinan TVRI juga melihat situasi dan perubahan yang terjadi adalah sebuah kenyataan yang tak bisa dihindari. Setelah Deppen dilikuidasi, jajaran redaksi sempat dilanda kebingungan lantaran selama Orba hampir semua kebijakan dan peraturan selalu diatur dan dikontrol Deppen. Dalam artian, terjadi kebingungan antara boleh tidaknya suatu berita disiarkan. Sementara genderang reformasi menuntut TVRI menyesuaikan diri dengan perubahan sistem politik dan ideologi yang berkembang selepas jatuhnya rezim Orba.

Para reporter yang sempat diwawancarai penulis mengakui, selama orba dirinya adalah bagian dari Orba. Mereka menyadari sebagai pegawai pemerintah harus bertanggung jawab pada pemerintah pula. Ketika melamar menjadi reporter, mereka juga menyadari bahwa dirinya akan menjadi pegawai negeri sipil.

Sejumlah kajian ilmiah membuktikan, ideologi pemberitaan selama Orba adalah pemihakan sepenuhnya kepada pemerintah. Artinya, pemberitaan dibuat untuk kepentingan penguasa. Ini diakui sendiri oleh news worker di TVRI. Apalagi berita yang disiarkan selalu dikontrol dan dimonitor Deppen. Ketatnya kontrol, banyaknya aturan, dan represi pemerintah yang kuat membuat self sensorship reporter dan pengambil kebijakan semakin lama semakin kuat dan tak peka terhadap realitas di masyarakat. Akibatnya, berita yang dimuat lebih banyak agenda kebijakan yang menyenangkan penguasa. Nilai berita otomatis dikesampingkan.

Dalam penelitian penulis yang berjudul Pergeseran Kebijakan Redaksional dari Orde Baru ke Era Reformasi dalam Kasus RCTI dan TVRI ( 2000), bubarnya Deppen direspons positif redaksi dan pengambil kebijakan di TVRI. TVRI menyadari bahwa berita itu jantungnya televisi. Mereka percaya berita adalah identitas televisi dan memberikan citra pada stasiun televisi bersangkutan. Ekstrimnya, gengsi sebuah televisi terletak dalam program pemberitaannya.

Bagaimana sebuah saluran televisi memilih berita dan bagaimana menyiarkannya adalah identitas sebuah stasiun televisi. Seobjektif apapun sebuah informasi atau berita dikumpulkan dan ditampilkan, di dalamnya tercermin bagaimana sikap, pandangan, dan profesionalisme para pekerja di stasiun televisi itu. Kini pemberitaan TVRI lebih menekankan pada news value yang berorientasi publik: what the people want dan what the people need. Belakangan, pemerintah bukan hal yang tabu untuk dikritik.

Dari penelitian ditemukan, ada tiga perubahan mencolok dalam pengemasan berita di TVRI. Pertama, pemilihan sumber. Sumber berita kini lebih beragam dan berani menampilkan pendapat atau peristiwa yang saling bertolak belakang (pro-kontra). Kedua, pemilihan kutipan. Dalam pemilihan kutipan kini reporter tidak hanya mengutip pernyataan penguasa, pejabat, partai mayoritas, melainkan juga mengetengahkan pendapat kaum marjinal seperti petani, nelayan, kelompok minoritas, dan kaum tertindas. Ketiga, dubbing atau insert narator. Naskah dubbing kini cenderung bervariasi. Bila selama Orba lebih banyak kalimat tak langsung dari pernyataan penguasa, kini lebih banyak bercerita tentang peristiwa yang terjadi atau latar belakang peristiwa (backround).

##

KERUWETAN di TVRI tambah memuncak ketika Sumita Tobing yang sebelumnya dikenal bertangan dingin melahirkan Liputan 6 SCTV, sejak 28 Juni 2001 diangkat sebagai Direktur Utama TVRI. Kembalinya “si anak hilang” itu ke TVRI semula diharapkan membawa semangat dan etos kerja baru. Kemampuan doktor jurnalistik lulusan Ohio State University itu tak diragukan lagi. Sikap profesionalnya teruji dengan keberhasilannya mengemas Cakrawala ANTV dan ikut membidani Metro TV -- yang akhirnya keluar dengan alasan berbenturan konsep dengan pemilik modal.

Dalam kata sambutan pelantikannya bahkan Sumita bertekad untuk memperjuangkan TVRI lepas dari jerat status perusahaan jawatan yang dinilainnya terlalu kaku. Idealnya, menurut Sumita TVRI harus menjadi badan usaha milik negara yang lincah mencari biaya operasional termasuk menggali sumber-sumber pembiayaan dari iklan, namun tidak profit oriented. Dan ini berhasil dengan keluarnya PP No. 9 Tahun 2002 tentang perubahan status dari perusahaan jawatan menjadi perseroan terbatas.

Namun, konsep Sumita tersebut sulit terealisasi menyusul kuatnya risistensi dari dalam. Empat direksi yang berada di bawahnya, masing-masing Direktur Teknik Ahmad S. Adiwijaya, Direktur Produksi Barita E. Siregar, Direktur Administrasi dan Keuangan Badaruddin Achmad, dan Direktur Pemasaran Sutrimo, malah menciptakan opisisi. Keempat direksi juga konon menentang audit menyeluruh atas aset dan keuangan TVRI.

Sebelumnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menemukan sejumlah penyelewengan dana di beberapa divisi TVRI. Di antaranya penyelewengan itu terjadi dalam pembukuan piutang kontribusi televisi swasta yang dipungut setiap tahun sebesar 12,5 persen dari perolehan iklan. Selisih antara hasil audit dengan neraca per 6 Juni 2000, misalnya, mencapai Rp 65 miliar. Kebocoran itu, belum dari proses pengadaan barang, dana dari masyarakat berupa iuran televisi, serta sumber-sumber lain yang tidak jelas pembukuannya. Diduga, audit itu akan membongkar borok-borok pengelola TVRI di masa silam, termasuk yang sudah pensiun.

##

PEMERINTAH akhirnya mengubah status TVRI dari perusahaan jawatan menjadi perseroan terbatas pada 15 Maret 2003. Selain mengubah status, pemerintah juga melakukan perubahan di jajaran direksi dan komisaris. Perubahan susunan direksi dan komisaris itu ditetapkan dengan SK Menteri BUMN No. 190/MBU/2003 tanggal 14 April 2003 mengenai pengangkatan komisaris PT TVRI dan Surat Keputusan Menneg BUMN No. 191/MBU/2003 tanggal 14 April 2003 soal pengangkatan direksi PT TVRI. Pengangkatan direksi dan komisaris dilakukan bersamaan dengan perubahan status (Pikiran Rakyat, 16 Maret 2003).

Di jajaran komisaris, terdapat nama Abdullah Hudiono Dimas Wahab sebagai komisaris utama. Komisaris lainnya adalah Budi Harsono, Gede Widiatyana Merati, Pandu Jayanto, Darmabakti, dan Indrajati Sidi. Sedangkan direktur utama dijabat Hari Sulistyono yang dibantu John Guntar Sebayang (direktur keuangan), Yazirwan Uyun (direktur personalia), Enny Anggraini Hardjanto (direktur program dan berita), Erina Herawati Tristiana Tobing (direktur teknik), dan Djamiris Endjaman (direktur umum).

Di jajaran direksi, ada 2 orang luar TVRI yakni Hari Sulistyono dan Enny Hardjanto. Hari sebelumnya memimpin situs berita online di bawah Grup Lippo yang bangkrut karena mismanajemen. Sedangkan Enny Hardjanto adalah mantan petinggi di Citybank. Sedangkan di jajaran komisaris, nama Budi Harsono tampaknya cukup mengejutkan, mengingat posisinya sekarang ini sebagai Sekjen Partai Golongan Karya. Sebagian kalangan khawatir, bercokolnya tokoh politik di TVRI akan menyeret televisi tersebut menjadi partisan.

Siapa pun pasti mafhum dengan kondisi TVRI yang seperti kapal menunggu karam, tugas direksi baru tentu tidaklah ringan. Memperbaiki TVRI secara internal (manajemen) dan memperbaiki TVRI secara eksternal (citra) adalah bukan pekerjaan gampang. Apalagi perbaikan itu harus bersama-sama dan simultan.

Sejumlah program acara TVRI sebenarnya sudah mulai menarik dan mengundang pemasang iklan. Bahkan beberapa acara sudah menjadi program favorit pemirsa seperti Country Road, Jaz Club, Dansa Yo Dansa, Dangdut Pro, Gelatak Gelitik Campur Sari, dan Blues Night. Acara-acara tersebut rata-rata sudah memiliki sponsor utama. Kendati dalam sebulan TVRI baru meraup iklan senilai Rp 3-5 miliar. Coba bandingkan dengan televisi swasta yang mendulang iklan senilai Rp 100 miliar per bulan.

##

UNTUK memperbaiki kinerja TVRI pascaperubahan status, paling tidak ada empat langkah prioritas yang harus dilakukan direksi baru. Pertama, segera mengaudit TVRI pusat dan daerah. Audit ini penting untuk melihat isi perut TVRI sebenarnya sehingga memudahkan manajemen untuk mengambil kebijakan dan membuat platform ke depan.
Kedua, segera tentukan status untuk stasiun TVRI daerah. Ini penting untuk memberikan kesempatan kepada stasiun daerah agar berkembang secara optimal. Apalagi selama ini sejumlah stasiun daerah terpaksa berhenti siaran atau mengurangi jam siaran karena kekurangan dana, seperti yang dialami Stasiun Surabaya, Padang, Medan, dan Banda Aceh.

Selama ini ada dua wacana untuk TVRI daerah, yakni menjadi bagian dari TVRI pusat yang diubah menjadi televisi publik daerah seperti yang diatur dalam UU Penyiaran. Ada juga yang mengusulkan pengelolaan stasiun daerah diserahkan kepada pemerintah daerah. Sejauh ini, Pemda Jawa Timur dan Pemda Sumatra Barat bahkan siap memberikan dana untuk mengelola stasiun daerah.

Ketiga, meredam keresahan karyawan. Perubahan status selalu berkaitan dengan masalah pendistribusian karyawan. Karyawan umumnya khawatir dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Untuk soal ini manajemen harus terbuka sambil mencari solusi terbaik, tentunya. Sebab, keresahan karyawan bila dimanfaatkan kelompok status quo malah akan menciptakan resistensi hingga upaya mereformasi TVRI berjalan alot atau gagal sama sekali.

Keempat, direksi harus menjelaskan kepada publik apakah TVRI akan menjalankan prinsip-prinsip perseroan sepenuhnya atau total menjadi televisi publik. Perbedaan yang kontras antara status perseroan dengan nilai-nilai normatif Undang-undang Penyiaran perlu segera diselesaikan karena akan terus mengundang perdebatan panjang yang bisa saja suatu saat malah menggangu kinerja TVRI. Pasalnya, konsep perseroan dengan konsep penyiaran publik jauh berbeda. Perseroan berorientasi mencari untung sedangkan televisi publik mempunyai konsep: melibatkan partipasi rakyat (media literacy), didanai rakyat (APBN), dan diawasi rakyat.

Dalam UU No. 32 Tahun 2003 Pasal 14 Ayat 1 disebutkan: Lembaga Penyiaran Publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Kemudian dipertegas pada Ayat 2: Lembaga Penyiaran Publik adalah Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Bila pemerintah mempunyai keinginan baik untuk menjadikan TVRI menjadi televisi publik tentu saja pengaturannya harus rinci hingga ke teknis operasional. Selain itu, pengawasan publik atas kinerja TVRI juga harus diwujudkan dalam bentuk badan supervisi, seperti ABC Australia yang didampingi The Australian Broadcasting Corporation Advisory Council. Lembaga supervisi ini bertanggung jawab dalam menentukan kebijakan-kebijakan penting seperti anggaran, rencana pengembangan stasiun penyiaran, standar program acara dan lain-lain.

Untuk lembaga supervisi ini hendaknya bukan sebuah badan seperti DPR atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), melainkan kumpulan orang-orang secara personal yang diakui kapabilitasnya yang kemudian dihimpun ke dalam sebuah badan supervisi. Bila DPR ikut mengawasi televisi publik dikhawatirkan suatu saat akan ikut campur terhadap kebijakan manajemen. Sebab DPR adalah lembaga politik yang sarat kepentingan. Sedangkan KPI terlalu sibuk bila harus mengawasi televisi publik. Sebab KPI juga harus mengawasi lembaga penyiaran lain, yakni lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, dan lembaga penyiaran berlangganan.[]

*Penulis, periset di Lembaga Kajian Media Massa dan Budaya di Bogor

Comments

  1. Anonymous3:09 AM

    TVRI? KPI tidak terlalu sibuk ngurus TVRI, RRI atau turunannya. Tapi analisis Mas Yayat sebelum paragraf penutup bagus loh!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bro, punya foto/gambar Komisaris Utama TVRI?

      Delete
  2. mana foto komisaris utama TVRI, Abdurachman Hudiono Dimas Wahab?

    ReplyDelete
  3. Tidak terlihat foto Komisaris Utama TVRI

    ReplyDelete

Post a Comment

Anda Berkomentar Maka Saya Ada

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f