Judul : Jurnalisme Investigasi
Penulis : Septiawan Santana Kurnia
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Cetakan : Pertama, Januari 2003
Tebal : (xx + 357) termasuk indeks
WARTAWAN senior S. Sinansari ecip pernah menulis bahwa liputan investigatif(investigative reporting) adalah mahkota karya jurnalistik. Bahkan produk jurnalistik ini-lah yang selalu mendapatkan penghargaan utama Pulitzer dari Universitas Columbia, Amerika Serikat.
Dalam konteks Indonesia, praktik jurnalisme investigatif seharusnya tumbuh subur di negeri ini. Pasalnya Indonesia adalah negara yang mempunyai rekor kejahatan publik cukup tinggi dari mulai kerusuhan sosial seperti Tragedi Mei 1998 hingga korupsi yang merajalela dari tingkat kepala desa yang menggelapkan dana beras untuk rakyat miskin sampai pejabat negara yang menilap duit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Korupsi semacam ini diistilahkan Ketua Indonesia Corruption Watch Teten
Masduki sebagai “Korupsi Gotong Royong”.
Praktik jurnalisme investigatif juga sangat tepat untuk membongkar sejumlah kasus kejahatan publik pascadiberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah. Tumbuhnya raja-raja kecil, maraknya penyelundupan, dan korupsi yang sistematis di sejumlah daerah adalah ladang jurnalisme investigatif yang dahsyat. Lebih-lebih trend kejahatan publik di daerah banyak terjadi karena persekongkolan antara pemerintah daerah dan DPRD.
Kegiatan jurnalisme investigatif sebenarnya bukan barang baru di Indonesia. Praktik jurnalisme investigatif pernah dilakukan harian Indonesia Raya yang dipimpin wartawan kawakan Mochtar Lubis sekitar tahun 70-an. Ketika itu Indonesia Raya dapat mengungkap kasus korupsi di Pertamina yang menyeret nama Ibnu Sutowo--yang saat itu menjabat direktur utama perusahaan minyak negara ini.
Selanjutnya jurnalisme isvestigatif juga sempat membuat masyarakat Indonesia melek ketika Bondan Winarno mengungkap peristiwa tenggelamnya kapal penumpang Tampomas II di Selat Makassar pada awal 1980-an. Bondan Winarno kemudian menerbitkannya menjadi sebuah buku yang berjudul Neraka di Laut Jawa. Berikutnya Bondan Winarno juga melakukan investigasi dalam kasus eksplorasi emas di Busang, Kalimantan Timur, yang dilakukan Bre-X, perusahaan eksplorasi dari Kanada. Hasil investigasi yang disusun menjadi sebuah buku berjudul Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi (1997), Bondan Winarno berhasil mengungkap manipulasi cadangan emas untuk mendongkrak saham perusahaan itu. (hal xv).
***
Kehadiran buku “Jurnalisme Investigasi” yang ditulis Dosen Universitas Islam Bandung ini tentu saja akan menambah referensi para wartawan yang berniat atau yang sudah menggeluti jurnalisme investigatif. Buku setebal 357 halaman ini secara komprehensif membedah dunia jurnalisme investigatif. Pembahasan meliputi sejarah jurnalisme isvestigatif di Indonesia dan perkembangan mutakhir di dunia, ciri-ciri, riset, wawancara, serta penulisan dan etika jurnalisme investigatif.
Untuk memperlihatkan aktualitasnya, buku ini juga menghadirkan sejumlah kasus hasil liputan investigatif di majalah TEMPO. Namun sayangnya secara tata letak, buku ini kurang menarik, terutama untuk contoh liputan investigatif yang diambil dari TEMPO. Akan lebih enak dibaca bila contoh tulisan itu diraster atau dipisahkan dengan boks sehingga pembaca gampang membedakan antara contoh dan analisa atau pembahasan penulis.
Seperti diakui penulisnya, kekurangan buku ini mungkin dapat tertutupi oleh pengantar yang cukup bagus dari Bondan Winarno. Selain menceritakan pengalamannya secara kronologis dalam mempraktikkan jurnalisme investigatif, Bondan Winarno juga menekankan pentingnya jurnalisme ini diaplikasikan dalam harian sore untuk mempertajam daya saing dengan harian pagi. (hal xx).
Tulis Bondan Winarno, jurnalisme investigatif bukan sekadar fashion, melainkan nyawa media masa. Dia memperingatkan, media yang tidak mempunyai kemampuan investigatif, bersiap-siaplah untuk tersingkir dari cakrawala media di Tanah Air.[]
Jakarta, Februari 2003
ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada