SEJAK penelitian yang dilakukan tahun 50-an seolah ada kesepakatan bahwa televisi adalah milik kaum perempuan. Secara sederhana ini bisa dilihat dari dapur televisi. Dari mulai penyiar, pemain sinetron, presenter, hingga tema-tema acara pun cenderung ditujukan untuk konsumsi perempuan. Mungkin untuk program acara olah raga, seperti sepakbola, tinju atau gulat saja yang tak ditujukan untuk perempuan. Selebihnya benar-benar konsumsi kaum hawa.
Namun kecenderungan terakhir, olahraga keras pun ternyata banyak diminati perempuan. Pertandingan sepak bola di televisi, misalnya, ternyata banyak juga disukai kaum perempuan, khususnya remaja putri. Terlepas dari perempuan melihat sepakbola karena melihat unsur fisik sang pemain. Sehingga pengelola televisi pun sekarang kerap menghadirkan perempuan sebagai presenter dan pewawancara tokoh sepakbola. Persenter perempuan bersuara cempring, dandanan serta asesoris modis, dan dengan berbagai atribut gaul lainnya kini menghiasasi tayangan televisi.
Setali tiga uang, dominasi perempuan pun terjadi dalam periklanan. Hampir 90 persen iklan di televisi dan 70 persen iklan di media cetak didominasi perempuan. Sehingga dalam budaya pop seperti sekarang ini perempuan sebagai agen perubahan tak diragukan lagi. Sekaligus juga, menunjukkan bahwa perempuan mendominasi perputaran uang. Padahal, dalam profesi lain perempuan masih harus berjuang untuk mendapatkan posisi.
Bayangkan saja, sekitar 80 persen penduduk Indonesia melek televisi. Sehingga, realistis bila pemasang iklan masih terfokus pada medium televisi. Untuk tahun 2001, misalnya, belanja iklan sebesar Rp 9,7 triliun, dan 50 persennya untuk televisi. Sementara belanja iklan untuk 2002 diperkirakan mencapai Rp 15 triliun (Kontan, No. 41, 22 Juli 2002). Bisa dibayangkan uang yang berputar di lingkungan kaum perempuan. Sayangnya, dominasi tersebut tak diikuti posisi tawar yang kuat. Ternyata di balik dominasi tersebut, perempuan malah yang paling sering mendapatkan pelecehan baik secara psikologis maupun secara seksual.
Ada yang berpendapat bahwa pelecehan wanita dalam media massa disebabkan karena masih kuatnya budaya patriaki di Indonesia. Lihat saja, dari mulai pengambil keputusan hingga bawahan di institusi media massa didominasi laki-laki. Namun alasan itu tak masuk akal karena wanita yang mempunyai hak tolak tidak digunakan semestinya.
Ini ada kaitannya dengan berbagai kepentingan yang memposisikan perempuan. Bagi perempuan, karena ingin cepat dikenal rela tampil seronok dalam program tayangan televisi yang secara ideologis bercita rasa rendah (low taste). Akhirnya perempuan hanya dilihat dari fisik. Sementara bagi media massa keseronokan itu lebih ke tujuan ekonomis (bisnis), yakni mendongkrak oplah dan rating. Alasan terakhir ini ada kaitannya dengan semakin suburnya paham kapitalisme dan budaya massa. Dalam budaya pop yang serba instan, perempuan ditempatkan sebagai alat produksi. Sebab, budaya massa dan budaya populer lebih mengutamakan kulit dan penampilan daripada substansi dan orisinalitas.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa eksploitasi perempuan lebih disebabkan adanya dominasi budaya global khususnya Barat. Namun alasan ini pun bisa dibantah. Sebab, membedakan stereotip budaya bukanlah sesuatu yang tepat. Pasalnya, tak ada relevansi yang signifikan. Bila stereotip itu yang dikedepankan, mengisyaratkan bahwa materialisime adalah Barat. Dan Barat adalah penyebab kehancuran dunia, amoral, dan banyak lagi sebutan lain. Sedangkan yang menjunjung tinggi spiritualitas, moralis, dan sebutan baik lainnya adalah Timur. Stereotip ini tak dapat dikedepankan karena dalam kenyataannya masyarakat Indonesia telah mengalami perubahan dan berkembang. Sebab, televisi pun merepresentasikan masyarakat pada zamannya.
Pemarjinalan kaum perempuan juga terjadi dalam pemberitaan di televisi. Seperti halnya dalam iklan sosok perempuan dalam berita pun diposisikan sebagai objek bukan subjek pemberitaan. Berita mengenai perkosaan wanita secara ideologis lebih banyak menyampaikan pesan perempuan yang dicitrakan sebagai penyebab terjadinya perkosaan. Selain itu visualisasi juga lebih banyak menampilkan perempuan sebagai korban. Sedangkan pemerkosa jarang ditampilkan. Hal ini berkaitan dengan frame yang ada pada wartawan bahwa justru nilai jual dan daya tarik berita terletak pada sosok dan latar belakang korban perkosaan.
Maria Hartiningsih, penulis tentang masalah jender menyatakan dalam sebuah seminar, frame wartawan tersebut diakibatkan sang repoter tidak berwawasan jender. Kendati demikian, bila reporter tersebut pun memiliki wawasan jender belum tentu secara keseluruhan atmosfir redaksi menayangkan berita tersebut. Sebab, penayangan berita masih harus diputuskan di tingkat rapat redaksi.
Pengertian jender sendiri adalah suatu definisi yang independen, bersih dan suci. Namun ketika terjadi ketimpangan maka yang terjadi adalah dominasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Jender adalah pembedaan perilaku, sifat, karakter, antara laki-laki dan perempuan. Ideologi jender berkaitan dengan gagasan yang berkembang dalam masyarakat tertentu mengenai apa peran utama laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dengan kata lain, konsep jender merupakan konstruksi sosial-budaya ketimbang fakta. Yang menjadi persoalan adalah ketika ideologi jender bersikap timpang (inequality gender ideology) -- sehingga peran antara laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat menjadi tak seimbang.
Selain berita dan iklan, program televisi lain yang turut menghadirkan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan terlihat dalam produk sinema elektronik (sinetron). Sebuah penelitian sederhana dengan cara mengamati produk sinetron yang diproduksi production house ternama pada tahun 2000 mencatat sekitar 85 persen memojokkan perempuan. Dalam kebanyakan sinetron lebih banyak memberi gambaran perempuan yang hanya berkutat di dapur, kasur, dan ruang keluarga. Aktivitas, karir, dan prestasi perempuan hanya ada di awal cerita – itu pun kalau ada – selebihnya perempuan berkutat dengan berbagai kesedihan hidup yang akhirnya jatuh kepangkuan laki-laki yang diposisikan sebagai ‘dewa penyelamat’.
Ini jelas tidak adil. Harus ada keberanian dari para sineas dan pengelola televisi untuk membalikkan ketidakadilan tersebut. Kendati orang tahu bahwa sinetron bukan realitas masyarakat Indonesia sehari-hari. Namun sinetron adalah realitas jiwa dan khayalan masyarakat Indonesia umumnya yang suka bermimpi untuk melarikan diri dari penderitaan dan kemiskinan.
Karena itu kita berharap kepada sineas muda perempuan seperti Mira Lesmana (produser film Sherina), Nan T. Achnas (sutradara film Pasir Berbisik), dan Ira diNata (produser film Ca Bau Kan) yang juga seorang ibu muda yang kreatif untuk menyajikan tontonan televisi yang bisa mengangkat wanita sebagai aktor penentu dalam sebuah cerita. Paling tidak dapat mengambarkan perempuan sebagai pengambil keputusan bukan sebagai pelaksana kebijakan. Kita berharap ruh Sumita Tobing yang kini memimpin TVRI, Lany Ratulangi yang memimpin produksi di SCTV, dan Neny Soemawinata sebagai Direktur Operasional RCTI dapat mewarnai perkembangan televisi di Indonesia.
Tetapi tidak fair juga kita hanya mengandalkan enam perempuan itu. Mungkin harus ada juga keberanian yang sifatnya massal untuk terus menggugat budaya dominasi dan budaya lokal yang memarjinalkan perempuan. Seharusnya kita malu mengaku sebagai orang timur yang terus-menerus menuduh barat sebagai setan dan perusak bumi. Tetapi kita sendiri malah menyepelekan wanita. Saya tak malu mengungkapkan pepatah kuno dan usang: sorga ada di telapak kaki ibu. Kendati saya tahu bahwa tidak semua perempuan layak disebut ibu.
Bila melihat budaya patriaki yang masih kuat di Indonesia, tak ada jalan lain bahwa yang harus memperjuangkan nasib perempuan adalah perempuan itu sendiri. Jangan berharap banyak kepada laki-laki. Bukankah Tuhan juga menyatakan bahwa berubahnya sesuatu kaum karena kaum itu sendiri yang mempunyai keinginan dan berusaha untuk berubah.[]
*Penulis adalah periset di Lembaga Kajian Media Massa dan Budaya di Bogor
Namun kecenderungan terakhir, olahraga keras pun ternyata banyak diminati perempuan. Pertandingan sepak bola di televisi, misalnya, ternyata banyak juga disukai kaum perempuan, khususnya remaja putri. Terlepas dari perempuan melihat sepakbola karena melihat unsur fisik sang pemain. Sehingga pengelola televisi pun sekarang kerap menghadirkan perempuan sebagai presenter dan pewawancara tokoh sepakbola. Persenter perempuan bersuara cempring, dandanan serta asesoris modis, dan dengan berbagai atribut gaul lainnya kini menghiasasi tayangan televisi.
Setali tiga uang, dominasi perempuan pun terjadi dalam periklanan. Hampir 90 persen iklan di televisi dan 70 persen iklan di media cetak didominasi perempuan. Sehingga dalam budaya pop seperti sekarang ini perempuan sebagai agen perubahan tak diragukan lagi. Sekaligus juga, menunjukkan bahwa perempuan mendominasi perputaran uang. Padahal, dalam profesi lain perempuan masih harus berjuang untuk mendapatkan posisi.
Bayangkan saja, sekitar 80 persen penduduk Indonesia melek televisi. Sehingga, realistis bila pemasang iklan masih terfokus pada medium televisi. Untuk tahun 2001, misalnya, belanja iklan sebesar Rp 9,7 triliun, dan 50 persennya untuk televisi. Sementara belanja iklan untuk 2002 diperkirakan mencapai Rp 15 triliun (Kontan, No. 41, 22 Juli 2002). Bisa dibayangkan uang yang berputar di lingkungan kaum perempuan. Sayangnya, dominasi tersebut tak diikuti posisi tawar yang kuat. Ternyata di balik dominasi tersebut, perempuan malah yang paling sering mendapatkan pelecehan baik secara psikologis maupun secara seksual.
Ada yang berpendapat bahwa pelecehan wanita dalam media massa disebabkan karena masih kuatnya budaya patriaki di Indonesia. Lihat saja, dari mulai pengambil keputusan hingga bawahan di institusi media massa didominasi laki-laki. Namun alasan itu tak masuk akal karena wanita yang mempunyai hak tolak tidak digunakan semestinya.
Ini ada kaitannya dengan berbagai kepentingan yang memposisikan perempuan. Bagi perempuan, karena ingin cepat dikenal rela tampil seronok dalam program tayangan televisi yang secara ideologis bercita rasa rendah (low taste). Akhirnya perempuan hanya dilihat dari fisik. Sementara bagi media massa keseronokan itu lebih ke tujuan ekonomis (bisnis), yakni mendongkrak oplah dan rating. Alasan terakhir ini ada kaitannya dengan semakin suburnya paham kapitalisme dan budaya massa. Dalam budaya pop yang serba instan, perempuan ditempatkan sebagai alat produksi. Sebab, budaya massa dan budaya populer lebih mengutamakan kulit dan penampilan daripada substansi dan orisinalitas.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa eksploitasi perempuan lebih disebabkan adanya dominasi budaya global khususnya Barat. Namun alasan ini pun bisa dibantah. Sebab, membedakan stereotip budaya bukanlah sesuatu yang tepat. Pasalnya, tak ada relevansi yang signifikan. Bila stereotip itu yang dikedepankan, mengisyaratkan bahwa materialisime adalah Barat. Dan Barat adalah penyebab kehancuran dunia, amoral, dan banyak lagi sebutan lain. Sedangkan yang menjunjung tinggi spiritualitas, moralis, dan sebutan baik lainnya adalah Timur. Stereotip ini tak dapat dikedepankan karena dalam kenyataannya masyarakat Indonesia telah mengalami perubahan dan berkembang. Sebab, televisi pun merepresentasikan masyarakat pada zamannya.
Pemarjinalan kaum perempuan juga terjadi dalam pemberitaan di televisi. Seperti halnya dalam iklan sosok perempuan dalam berita pun diposisikan sebagai objek bukan subjek pemberitaan. Berita mengenai perkosaan wanita secara ideologis lebih banyak menyampaikan pesan perempuan yang dicitrakan sebagai penyebab terjadinya perkosaan. Selain itu visualisasi juga lebih banyak menampilkan perempuan sebagai korban. Sedangkan pemerkosa jarang ditampilkan. Hal ini berkaitan dengan frame yang ada pada wartawan bahwa justru nilai jual dan daya tarik berita terletak pada sosok dan latar belakang korban perkosaan.
Maria Hartiningsih, penulis tentang masalah jender menyatakan dalam sebuah seminar, frame wartawan tersebut diakibatkan sang repoter tidak berwawasan jender. Kendati demikian, bila reporter tersebut pun memiliki wawasan jender belum tentu secara keseluruhan atmosfir redaksi menayangkan berita tersebut. Sebab, penayangan berita masih harus diputuskan di tingkat rapat redaksi.
Pengertian jender sendiri adalah suatu definisi yang independen, bersih dan suci. Namun ketika terjadi ketimpangan maka yang terjadi adalah dominasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Jender adalah pembedaan perilaku, sifat, karakter, antara laki-laki dan perempuan. Ideologi jender berkaitan dengan gagasan yang berkembang dalam masyarakat tertentu mengenai apa peran utama laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dengan kata lain, konsep jender merupakan konstruksi sosial-budaya ketimbang fakta. Yang menjadi persoalan adalah ketika ideologi jender bersikap timpang (inequality gender ideology) -- sehingga peran antara laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat menjadi tak seimbang.
Selain berita dan iklan, program televisi lain yang turut menghadirkan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan terlihat dalam produk sinema elektronik (sinetron). Sebuah penelitian sederhana dengan cara mengamati produk sinetron yang diproduksi production house ternama pada tahun 2000 mencatat sekitar 85 persen memojokkan perempuan. Dalam kebanyakan sinetron lebih banyak memberi gambaran perempuan yang hanya berkutat di dapur, kasur, dan ruang keluarga. Aktivitas, karir, dan prestasi perempuan hanya ada di awal cerita – itu pun kalau ada – selebihnya perempuan berkutat dengan berbagai kesedihan hidup yang akhirnya jatuh kepangkuan laki-laki yang diposisikan sebagai ‘dewa penyelamat’.
Ini jelas tidak adil. Harus ada keberanian dari para sineas dan pengelola televisi untuk membalikkan ketidakadilan tersebut. Kendati orang tahu bahwa sinetron bukan realitas masyarakat Indonesia sehari-hari. Namun sinetron adalah realitas jiwa dan khayalan masyarakat Indonesia umumnya yang suka bermimpi untuk melarikan diri dari penderitaan dan kemiskinan.
Karena itu kita berharap kepada sineas muda perempuan seperti Mira Lesmana (produser film Sherina), Nan T. Achnas (sutradara film Pasir Berbisik), dan Ira diNata (produser film Ca Bau Kan) yang juga seorang ibu muda yang kreatif untuk menyajikan tontonan televisi yang bisa mengangkat wanita sebagai aktor penentu dalam sebuah cerita. Paling tidak dapat mengambarkan perempuan sebagai pengambil keputusan bukan sebagai pelaksana kebijakan. Kita berharap ruh Sumita Tobing yang kini memimpin TVRI, Lany Ratulangi yang memimpin produksi di SCTV, dan Neny Soemawinata sebagai Direktur Operasional RCTI dapat mewarnai perkembangan televisi di Indonesia.
Tetapi tidak fair juga kita hanya mengandalkan enam perempuan itu. Mungkin harus ada juga keberanian yang sifatnya massal untuk terus menggugat budaya dominasi dan budaya lokal yang memarjinalkan perempuan. Seharusnya kita malu mengaku sebagai orang timur yang terus-menerus menuduh barat sebagai setan dan perusak bumi. Tetapi kita sendiri malah menyepelekan wanita. Saya tak malu mengungkapkan pepatah kuno dan usang: sorga ada di telapak kaki ibu. Kendati saya tahu bahwa tidak semua perempuan layak disebut ibu.
Bila melihat budaya patriaki yang masih kuat di Indonesia, tak ada jalan lain bahwa yang harus memperjuangkan nasib perempuan adalah perempuan itu sendiri. Jangan berharap banyak kepada laki-laki. Bukankah Tuhan juga menyatakan bahwa berubahnya sesuatu kaum karena kaum itu sendiri yang mempunyai keinginan dan berusaha untuk berubah.[]
*Penulis adalah periset di Lembaga Kajian Media Massa dan Budaya di Bogor
salam kenal kang Yayat.
ReplyDeletesaya Mila. kebetulan almamater kita sama. saya angkatan 99. kang, saya sangat tertarik untuk diskusi atau sekedar sharing ide dengan kang yayat.
oke lah nanti kita bicara lagi kira-kira topik apa yang akan kita share didepan.
oh ya kang, sekarang saya sedang skripsi dan dateline akhir juli ini. saya membahas tentang STEREOTIP LAKI-LAKI DI MAJALAH MATRA.
kang yayat punya buku referensi yang kiranya bisa membantu saya. selama ini banyakan yang membahas perempuan gitu. saya mencoba untuk mengequalkan posisi pengetahuan dan kajian tentang 2 jenis kelamin ini yang frame terbesarnya adalah manusia. bukan begitu kang?
ok saya tunggu feed back nya ya kang..