Judul : Ekonomi Politik Media Penyiaran
Penulis : Agus Sudibyo
Pengantar : Bimo Nugroho
Penerbit : LKiS Yogyakarta dan ISAI Jakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2004
Tebal : (xxiv + 372) halaman termasuk indeks
MENGATUR dunia penyiaran ternyata lebih rumit dibandingkan dengan menerapkan aturan untuk media cetak. Kerumitan yang menyertai institusi penyiaran ini berkait erat dengan sumber daya frekuensi yang sangat terbatas. Frekuensi dalam dunia penyiaran, seperti Dewa Janus. Bila jatuh kepada orang atau kelompok yang salah, ranah publik ini akan menjadi bencana tetapi bila dikelola oleh orang atau kelompok yang tepat dapat menjadi sebuah mesin kemajuan dan mencerdaskan bangsa.
Dalam perkembangannya, penyiaran suatu saat bisa seperti anak manis dan tiba-tiba bisa menjadi monster. Sebab, secara sosial, budaya, dan politik, penyiaran juga bisa menjadi alat penindas atau alat membinasakan lawan atau rakyat, seperti yang pernah dilakukan rezim Orde Baru.
Rumitnya mengatur penyiaran bisa dilihat dari tarik ulur yang terjadi saat UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran akan disahkan DPR. Kalangan televisi swasta menilai UU Penyiaran akan mematikan televisi partikelir yang sudah established. Begitu juga kalangan radio swasta menilai, penyiaran komunitas malah akan membuat integrasi bangsa terancam. Sementara kalangan penggiat penyiaran komunitas dan LSM menuding kekhawatiran kelompok penyiarn mainstream tersebut sebagai wujud kepanikan mereka karena UU Penyiaran membatasi jangkauan siaran yang berdampak pada menurunnya pendapatan (iklan).
Hanya dalam satu dasawarsa Indonesia memiliki 10 stasiun partikelir. Jumlah sebesar itu sebenarnya dapat dikatakan sebuah anomali di sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Malaysia saja yang pertumbuhan pereknomiannya lebih baik sampai kini hanya tiga stasiun televisi.
Uniknya lagi, selama satu dasawarsa tersebut. Televisi tumbuh dan berkembang tanpa disertai pedoman atau rambu-rambu. Televisi tumbuh berdasarkan improvisasi dan intuisi pengelolanya. Hasilnya, televisi berkembang hampir tak terkendali dan sulit dipertanggungjawabkan.
Buku Ekonomi Politik Media Penyiaran yang dutulis Agus Sudibyo ini secara gamblang memotret tarik ulur dalam melahirkan UU Penyiaran. Buku ini hasil amatan yang cukup komprehensif dari seluruh media penyiaran yang ada dalam undang-undang, kecuali media penyiaran berlangganan. Peta kepemilikan saham televisi swasta yang rumit dan gampang berpindah-pindah tangan juga mendapat pembahasan yang cukup lengkap.
Selain membahas media penyiaran publik, media penyiaran partikelir, dan media penyiaran komunitas buku ini juga secara detail membahas perkembangan TVRI dan RRI yang statusya kemungkinan berubah lagi. TVRI misalnya, dalam UU Penyiaran disebut sebagai televisi publik dan tidak berorientasi profit. Namun, berdasarkan PP No. 22 Tahun 2002 yang menjadi dasar TVRI menjadi perseroan jelas-jelas mencari keuntungan. Kontradiksi semacam ini tentu saja akan membuat TVRI sulit bergerak. Dan akan selalu mengundang kontroversi.
Buku ini merupakan album potret realitas dunia penyiaran Indonesia. Agus Sudibyo dalam menyusun buku ini bersama Tim ISAI menelisik lembaga-lembaga penyiaran yang terbagi menurut jenisnya: publik, swasta, dan komunitas. Penyiaran iuran tidak dibahas. Rentang penelitian dilakukan sejak UU Penyiaran berlaku hingga terbentuknya Komisi Penyiaran Indonesia 27 Desember 2003.[]
*Periset di Lembaga Kajian Media Massa dan Budaya di Bogor, Jawa Barat
Penulis : Agus Sudibyo
Pengantar : Bimo Nugroho
Penerbit : LKiS Yogyakarta dan ISAI Jakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2004
Tebal : (xxiv + 372) halaman termasuk indeks
MENGATUR dunia penyiaran ternyata lebih rumit dibandingkan dengan menerapkan aturan untuk media cetak. Kerumitan yang menyertai institusi penyiaran ini berkait erat dengan sumber daya frekuensi yang sangat terbatas. Frekuensi dalam dunia penyiaran, seperti Dewa Janus. Bila jatuh kepada orang atau kelompok yang salah, ranah publik ini akan menjadi bencana tetapi bila dikelola oleh orang atau kelompok yang tepat dapat menjadi sebuah mesin kemajuan dan mencerdaskan bangsa.
Dalam perkembangannya, penyiaran suatu saat bisa seperti anak manis dan tiba-tiba bisa menjadi monster. Sebab, secara sosial, budaya, dan politik, penyiaran juga bisa menjadi alat penindas atau alat membinasakan lawan atau rakyat, seperti yang pernah dilakukan rezim Orde Baru.
Rumitnya mengatur penyiaran bisa dilihat dari tarik ulur yang terjadi saat UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran akan disahkan DPR. Kalangan televisi swasta menilai UU Penyiaran akan mematikan televisi partikelir yang sudah established. Begitu juga kalangan radio swasta menilai, penyiaran komunitas malah akan membuat integrasi bangsa terancam. Sementara kalangan penggiat penyiaran komunitas dan LSM menuding kekhawatiran kelompok penyiarn mainstream tersebut sebagai wujud kepanikan mereka karena UU Penyiaran membatasi jangkauan siaran yang berdampak pada menurunnya pendapatan (iklan).
Hanya dalam satu dasawarsa Indonesia memiliki 10 stasiun partikelir. Jumlah sebesar itu sebenarnya dapat dikatakan sebuah anomali di sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Malaysia saja yang pertumbuhan pereknomiannya lebih baik sampai kini hanya tiga stasiun televisi.
Uniknya lagi, selama satu dasawarsa tersebut. Televisi tumbuh dan berkembang tanpa disertai pedoman atau rambu-rambu. Televisi tumbuh berdasarkan improvisasi dan intuisi pengelolanya. Hasilnya, televisi berkembang hampir tak terkendali dan sulit dipertanggungjawabkan.
Buku Ekonomi Politik Media Penyiaran yang dutulis Agus Sudibyo ini secara gamblang memotret tarik ulur dalam melahirkan UU Penyiaran. Buku ini hasil amatan yang cukup komprehensif dari seluruh media penyiaran yang ada dalam undang-undang, kecuali media penyiaran berlangganan. Peta kepemilikan saham televisi swasta yang rumit dan gampang berpindah-pindah tangan juga mendapat pembahasan yang cukup lengkap.
Selain membahas media penyiaran publik, media penyiaran partikelir, dan media penyiaran komunitas buku ini juga secara detail membahas perkembangan TVRI dan RRI yang statusya kemungkinan berubah lagi. TVRI misalnya, dalam UU Penyiaran disebut sebagai televisi publik dan tidak berorientasi profit. Namun, berdasarkan PP No. 22 Tahun 2002 yang menjadi dasar TVRI menjadi perseroan jelas-jelas mencari keuntungan. Kontradiksi semacam ini tentu saja akan membuat TVRI sulit bergerak. Dan akan selalu mengundang kontroversi.
Buku ini merupakan album potret realitas dunia penyiaran Indonesia. Agus Sudibyo dalam menyusun buku ini bersama Tim ISAI menelisik lembaga-lembaga penyiaran yang terbagi menurut jenisnya: publik, swasta, dan komunitas. Penyiaran iuran tidak dibahas. Rentang penelitian dilakukan sejak UU Penyiaran berlaku hingga terbentuknya Komisi Penyiaran Indonesia 27 Desember 2003.[]
*Periset di Lembaga Kajian Media Massa dan Budaya di Bogor, Jawa Barat
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada