Skip to main content

Revolusi Tak Mengenal Terimakasih

Judul : Si Jalak Harupat: Biografi R. Oto Iskandar di Nata ( 1897-1945)
Penulis : Dr. Nina H. Lubis
Pengantar : Prof. Dr. Taufik Abdullah
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, 2003
Tebal : (xxx + 298) halaman

OTO Iskandar diNata terpilih menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) pada 15 Juni 1931. Selaku anggota Volksraad ia terkenal dengan keberaniannya dalam membongkar kepincangan-kepincangan dan borok pemerintah kolonial sekaligus membela kepentingan rakyat yang ditindas pemerintah atau pengusaha swasta asing. Karena keberaniannya itu teman-temannya menjuluki Oto Iskandar sebagai Si Jalak Harupat. Jalak Harupat adalah ayam jago yang kuat, tajam kalau menghantam lawan, kencang bila berkokok, dan selalu menang bila diadu.

Komitmen kebangsaan dan kontribusi Oto Iskadar dalam perjuangan kemerdekaan tak diragukan lagi. Basis organisasi yang kuat di Pagoejoeban Pasoendan (1929-1942), kelak mengantarkan Oto Iskandar tampil cemerlang di tingkat pusat ketika menjadi anggota Dewan Rakyat di Batavia, inisiator di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), hingga menjadi Menteri Negara yang mengurus keamanan.

Banyak kiprah dan kerja nyata yang digagas atau dikembangkan Oto Iskandar selama menjabat Ketua Umum Pagoejoeban Pasoendan. Bidang yang sangat maju pesat di antaranya dalam pendidikan. Hingga tahun 1933 sudah 29 buah sekolah didirikan di pelosok Jawa Barat. Menyusul kemudian berdiri Centrale Bank Pasoendan dan sejumlah koperasi. Untuk menaungi semua unit usaha itu kemudian berdiri perusahaan induk yang dinamai Bale Ekonomi Pasoendan. (hal. 64)

Dalam bidang sosial dan kemasyarakatan, Pagoejoeban Pasoendan juga mendirikan lembaga bantuan hukum yang dikenal dengan Adviesbureaul. Lembaga ini memberikan bantuan cuma-cuma kepada masyarakat. Dasarnya, saat itu rakyat jelata kerap menjadi sapi perahan atau menjadi ladang penipuan para cerdik pandai yang berdalih di atas legalitas hukum. Tidak hanya itu, Oto Iskandar juga mendirikan Reclasseering Vereeniging (Perhimpunan Pemasyarakatan Kembali). Lembaga ini mengurus dan memperbaiki nasib orang-orang yang baru dibebaskan dari bui, termasuk mencarikan pekerjaan yang tepat buat mereka.(hal.56-59)

Uniknya, Oto Iskandar mengawali karir perjuangan oraganisasinya bukan di Tanah Sunda melainkan di Purworejo, Jawa Tengah. Ia memulai karir organisasinya dengan aktif sebagai anggota Boedi Oetomo sejak masih sekolah di Hoogere Kweekschool. Oto Iskandar keluar dari Boedi Oetomo dan lebih memilih pindah ke Pagoejoeban Pasoendan Cabang Batavia (Juli 1928). Saat itu Oto Iskandar yang menjadi Guru di Hollandsch Inland School (HIS) Pekalongan dipaksa pindah oleh pemerinah kolonial ke Batavia. Oto Iskandar yang saat itu sudah menikah dengan seorang ningrat Jawa, R.A Soekirah, dinilai berbahaya karena keberaniannya menentang pemerintahan feodal di Pekalongan. Sikap keras Oto Iskandar tercermin ketika mewanti-wanti istrinya jangan sampai gengsor, jalan sambil duduk, saat menghadap Bupati Pekalongan. (hal. 47)

Selama masa kepemimpinan Oto Iskandar, Pagoejoeban Pasoendan juga menerbitkan surat kabar Sipatahoenan. Surat kabar ini kelak menjadi alat perjuangan Oto Iskandar. Surat kabar ini mulanya milik cabang Tasikmalaya (1923) dan terbit mingguan. Baru pada 1931 surat kabar ini diambil alih Pagoejoeban Pasoendan pusat dan terbit harian. Karena sering mengkritik pemerintah kolonial, surat kabar ini beberapa kali terjerat Persbreidel Ordonanntie. Sipatahoenan dilarang terbit dan pengasuhnya beberapa kali harus berhadapan dengan polisi rahasia kolonial bahkan beberapa kali kasusnya sampai ke pengadilan. Saat Jepang menguasai Indonesia Sipatahoenan dipaksa tutup (1942). Gantinya Jepang meminta Oto Iskandar menerbitkan koran Tjahaja yang propemerintah. Kesan yang timbul kemudian Oto Iskandar bersifat kooperatif terhadap Jepang. Namun yang terjadi sebenarnya di balik itu, ada agenda besar yang diperjuangkan Oto Iskandar, yaitu mencuri ilmu dari pemerintahan Jepang sebagai bekal untuk memerdekakan Indonesia.(hal. 111)

Kelak sifat kooperatif ini sering menyebabkan kesalahpahaman di kalangan para pejuang Indonesia. Kecurigaan ini berlanjut hingga masa perjuangan revolusi--saat Belanda kembali menjajah Indonesia dengan mendompleng Sekutu--yang berbuntut pada penculikan dan pembunuhan Oto Iskandar di Pantai Mauk, Tangerang, 20 Desember 1945. Dugaan yang berkembang, pembunuhan itu dilatarbelakangi kecurigaan, persaingan jabatan, hingga kepada hal-hal yang berbau primordial, seperti tarik menarik pengaruh antara kekuataan Sunda dan Jawa. Namun hingga kini alasan pembunuhan yang sebenarnya masih gelap bersamaan dengan jasad Oto Iskandar yang tak ditemukan.

Oto Iskandar meninggal sebelum banyak mengecap kemerdekaan yang diperjuangkannya. Dia tewas sebagai martir revolusi. Benar kata Bung Karno, seperti ditulis kembali Prof. Dr. Taufik Abdullah dalam pengantar buku ini bahwa revolusi itu mempunyai logikanya sendiri, bahkan juga mempunyai sopan santun sendiri. Revolusi tidak mengenal terimakasih. Ia tidak saja “memakan anak-anaknya” tetapi juga mendurhakai ibunya sendiri. (hal xxii)

Tewas menjadi tumbal revolusi mungkin tak akan pernah disesali Oto Iskandar. Ini karena selagi masih hidup Oto Iskandar pernah menulis dalam koran Tjahaja yang dikelolanya bahwa: “Kalau Indonesia Merdeka boleh diteboes dengan djiwa seorang anak Indonesia, saja telah memadjoekan diri sebagai kandidat jang pertama oentoek pengorbanan ini.” (Kalau Indonesia Merdeka boleh ditebus dengan jiwa seorang anak Indonesia, saya telah mengajukan diri sebagai kandidat yang pertama untuk pengorbanan itu). (hal. 110)

Biografi yang ditulis Nina H. Lubis yang juga perempuan pertama bergelar doktor sejarah di Jawa Barat ini memberikan gambaran seorang pejuang Oto Iskandar yang kompleks hingga kematiannya yang misterius. Sehingga membaca biografi ini seperti membaca novel hybrid, suatu ramuan sastra yang menggabungkan antara fakta dan fiksi.

Biografi adalah karya subjektif. Bahkan Peter Ackroyd secara ekstrim pernah mengemukakan bahwa biografi adalah seni menyembunyikan. Dalam biografi ini juga disinggung tentang penyebab kematian Oto Iskandar yang berbau Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) yang bersifat spekulatif. Namun demikian, dugaan yang bersifat SARA ini saya kira tidak membahayakan dan bukan maksud penulis buku ini untuk mengorek luka atau permusuhan. Bagi saya bagian itu adalah point penting dari buku ini. Siapa tahu dengan ditulisnya bagian yang berbau SARA ini secara tersurat, akan melahirkan biografi baru atau buku baru yang membeberkan, meluruskan, atau menemukan bukti mutakhir.

*Penulis adalah penikmat dan pencinta buku

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f