Skip to main content

Nasib Pedalangan Betawi

Sinar Harapan, 6 September 2002, hal.7

PERNAHKAH Anda menonton Wayang Kulit Betawi? Hampir dapat dipastikan jawabannya serempak: Boro-boro menonton, mendengar Betawi punya wayang saja baru kali ini. Selama ini masyarakat dan warga Betawi -- terutama generasi muda -- umumnya hanya mengenal Wayang Kulit dari Jawa Tengah dan Wayang Golek asal Jawa Barat.

Ironis memang. Padahal, hingga era 80-an pedalangan Betawi mencapai puncak kejayaannya dan tercatat ada sekitar 16 grup pedalangan. Masa keemasan juga ditandai dengan Festival Wayang Kulit Betawi yang digelar Dinas Kebudayaan DKI Jakarta setiap tahun. Selama itu pula, publikasi Wayang Betawi sangat gencar. Bahkan TVRI berkali-kali memberikan kesempatan kepada para dalang Betawi untuk tampil.

Sayangnya, belakangan Wayang Betawi yang juga dikenal Wayang Tambun--konon wayang ini berkembang di Tambun, Bekasi era 70-an--sulit berkembang. Seiring dengan gerusan zaman, hanya segelintir dalang saja yang dapat bertahan. Tersisihnya Wayang Betawi ditengarai lantaran kesalahan para dalang. Umumnya, dalang Betawi tidak profesional. Padahal, kalau kreatif menggali bermacam lakon yang sesuai dengan zamannya pasti akan menarik untuk ditonton.

Wayang Betawi memang sulit bangkit kembali. Ini lantaran terjadi pergesaran budaya dan orientasi tontotan yang ekstrim di masyarakat. Lebih-lebih dengan serbuan pudaya pop yang ringan, instan, dan gampang ditiru. Padahal, sebelumnya setiap warga Betawi yang menggelar sunatan atau kawinan, pestanya selalu dimeriahkan dengan menanggap wayang.

Surutnya pedalangan Betawi juga diperparah dengan sikap para dalang yang enggan bergabung dengan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi). Padahal, bergabung dengan Pepadi setiap dalang bisa saling bertukar pikiran dan pengalaman. Ditambah lagi, para dalang Betawi umumnya berpendidikan rendah dan buta tentang lakon Mahabarata dan Ramayana. Kendati demikian, dalang Betawi umumnya mahir dalam mengemas nilai-nilai filosofis dan kritik sosial.


Keterpurukan pedalangan Betawi juga diperparah dengan generasi mudanya yang acuh dan tak peduli. Wayang Betawi hanya tinggal kenangan para orangtua yang sudah uzur. Ironis memang, Wayang Betawi hanya dikenal oleh orangtua yang usianya di atas 50 tahun.

Sejarah mencatat, Wayang Betawi adalah sisa-sisa peninggalan Sultan Agung ketika menyerang Batavia pada Abad 17. Ketika itu Batavia diperintah Gubernur Jenderal Jan Pieter Zoon Coen. Sultan Agung yang ketika itu Raja Demak dikenal juga sebagai pimpinan yang menekankan nilai-nilai Islam lewat gamelan dan wayang. Di Solo, dikenal dengan Gamelan Sekaten. Gamelan ini dikenal sebagai medium penyebaran Islam.

Menurut pengamat seni budaya Betawi Rachmat Ruchiat, wayang Betawi berkembang pesat setelah prajurut Sultang Agung yang ikut menyerang Batavia lebih memilih menetap. Kalah perang, mengakibatkan prajurit Sultan Agung itu tidak berani kembali ke Mataram. Selanjutnya, selama menetap di Batavia, prajurit itu mengembangkan wayang sebagai salah satu bentuk kesenian Jawa yang dikuasai sebelumnya. Lantaran itu dalam perkembangannya bentuk wayang kulit Betawi mirip dengan wayang kulit Jawa. Namun, perangkat pendukung lainnya mendapat pengaruh dari kesenian Sunda.

Pada masa lampau, pertunjukan Wayang Betawi diiringi gamelan yang sangat sederhana. Gamelan terbuat dari bambu, mirip calung Banyumas. Seiring dengan perkembangan zaman, mulai 1925 bahan gamelan pun kemudian terbuat dari logam, seperti terompet, saron, gambang, kromong, gedemung, kempul, kecrek dan gong. Sedangkan lakon Wayang Betawi banyak mengolah Punakawan sebagai tokoh utamanya. Wayang Betawi juga menempatkan Semar sebagai tokoh yang sakral, yang tak pernah kalah dan pantang dihina.

Sisa-sisa kejayaan Wayang Betawi kini masih bisa ditemui di beberapa wilayah di di Ibu Kota. Jakarta Timur paling banyak memiliki grup pedalangan, di antaranya di kelurahan Cijantung, Munjul, Ciracas, Gedong, Cakung dan Pulo Jahe. Sedangkan di Jakarta Selatan masih bisa ditemui di Jagakarsa dan Kebagusan. Sedangkan di Jakarta Barat masih bisa ditemukan di Kelurahan Cengkareng dan Kali Deres. Wayang Betawi juga masih bisa dicari jejaknya di Bogor, Bekasi, dan Tangerang.

Sebelum Wayang Betawi benar-benar punah, tak ada salahnya bila Dinas Kebudayaan Jakarta kembali peduli, mendata, atau mungkin kembali menggelar festival seperti pada 1980. Paling tidak publikasi keberadaan Wayang Betawi akan kembali melahirkan semangat baru, atau mungkin juga melahirkan dalang baru.

*Penulis, Periset di Lembaga Media Massa dan Budaya di Bogor, Jabar

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f