Skip to main content

Borok di Balik Industri Fast Food

www.rayakultura.net, 8 Februari 2005

Judul : Negeri Fast Food
Judul Asli : Fast Food Nation
Penulis : Eric Schlosser
Penerjemah : Ronny Agustinus
Penerbit : Insist Press
Cetakan : Pertama, Mei 2004
Tebal : (x + 392) halaman
Harga : Rp 38.000

KABAR
tentang industri makanan cepat saji atau fast food dengan sistem waralabanya ternyata tidak serenyah daging ayam goreng di Ketucky Fried Chicken, seempuk burger di McDonald’s, atau sehangat keju leleh di Pizza Hut. Industri fast food ternyata bukan hanya memusingkan negara berkembang yang begitu masif diserbu aneka lisensi makanan cepat saji tetapi juga membuat ketar-ketir Negeri Paman Sam yang mengekspor budaya massa tersebut.

Sudah menjadi isu global bahwa industri fast food telah mengobrak-abrik tatanan kehidupan individu, regional, dan dunia. Selama ini juga industri fast food selalu dikaitkan dengan masalah eksploitasi anak-anak melalui belanja iklan yang besar dan gencar di media massa, kebijakan tenaga kerja dan upah murah, pemberangusan serikat kerja, masalah kesehatan terutama obesitas dan kematian, serta soal monopoli. Bahkan di AS pemilik industri fast food dan rekanannya juga dapat mengontrol harga sehingga membuat sengsara peternak sapi, ayam, serta petani kentang. Banyak peternak kini tak berdaya dan tidak sedikit yang bangkrut karena terlilit utang. (hal. 175)

Selama tiga dasawarsa terakhir fast food telah merembes ke semua celah dan ceruk masyarakat Amerika Serikat. Sebuah industri yang bermula dari kedai hotdog dan hamburger di California Selatan setelah Perang Dunia ini telah menyebar ke segenap penjuru negeri. Fast food kini dihidangkan di restoran-restoran drive-in, stadion, bandara, kebun binatang, sekolah menengah, sekolah dasar, universitas, kapal-kapal pesiar, pesawat terbang, kereta api, dan kantin-kantin rumah sakit. Hanya untuk fast food, warga Amerika Serikat mengeluarkan dana mencapai 110 miliar dolar per tahun pada 2001.

Budaya fast food juga ternyata telah merambah dan menyeragamkan budaya dunia. Sosiolog dari Universitas Maryland George Ritzer dalam bukunya The McDonaldization of Society (2000) mengungkapkan konsep McDonaldisasi yang terinspirasi restoran cepat saji McDonald’s. Menurut Ritzer, prinsip-prinsip dalam McDonaldisasi sebenarnya adalah komponen dasar dari sistem masyarakat modern. Namun, prinsip-prinsip tersebut dalam ruang praksis malah memperlihatkan irasionalitas. Bahkan disebutkan McDonaldisasi malah melahirkan dehumanisme sistemik.

Tesis Ritzer tersebut dapat dibuktikan dengan kenyataan di Amerika Serikat. Industri fast food identik dengan pekerja anak-anak yang dibayar murah dan tidak berdaya. Para pekerja begitu gampangnya keluar masuk atau dipecat perusahaan dalam tiga atau empat bulan.

Boleh saja, industri fast food di Amerika Serikat kini mempekerjakan beberapa angota masyarakat nelangsa. Mereka kerap mengajarkan tentang keterampilan dasar disiplin seperti tentang datang tepat waktu. Namun, sikap mental industri fast food bila melihat isu yang berkaitan dengan pelatihan karyawan, serikat buruh, upah minimum, dan gaji lembur menunjukkan secara gamblang bahwa motif mereka menyewa kaum muda dan kaum miskin sama sekali bukan karena belas kasihan. (hal. 91)

Industri fast food juga menyebabkan anak-anak di Amerika Serikat malas melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi terutama di kalangan keluarga miskin. Mereka lebih memilih bekerja sebagai pelayan di restoran fast food. Toh, mereka dengan bekerja sebagai pelayan dapat membeli mobil yang menjadi dambaan anak muda Amerika Serikat masa kini.

Di Colorado, misalnya, anak-anak putus sekolah rata-rata pada usia 16 tahun. Mereka umumnya tergoda untuk bekerja di industri fast food. Sekolah Horrison misalnya, siswanya yang mencapai 400 orang hanya 50 persennya saja yang melanjutkan kuliah sisanya direkrut restoran-restoran cepat saji, jaringan ritel, dan perusahaan telemarketing. (hal. 102)

Dalam soal perburuhan, industri fast food dituding sebagai pemberangus serikat pekerja. Konon, di restoran-restoran fast food Amerika Serikat tidak ada serikat buruh yang kuat. Bahkan bila ada permasalahan di cabang atau di luar negeri, kantor pusat biasanya mengirimkan pengacara-pengacara handal untuk menyelesaikan sengketa buruh.

Sudah menjadi isu internasional fast food dituding sebagai biang dari obesitas anak-anak. Amerika Serikat kini memiliki tingkat obesitas tertinggi dari negara maju manapun. Lebih dari setengah orang dewasa dan sekitar seperempat bocah Amerika Serikat kini mengalami kelebihan berat badan. Proporsi ini kian bertambah pesat seiring kebiasaan warga Amerika Serikat mengkonsumsi fast food. (hal. 302)

Bahkan fast food juga banyak menyebabkan kematian akibat bakteri Escherichia coli 0157:H7, patogen makanan berbahaya yang berpotensi mematikan. Banyak kasus, di balik kemasan yang manarik dari fast food ternyata di dalamnya tercemar bakteri mematikan itu.

Dalam buku ini Eric Schlosser yang dikenal sebagai jurnalis invetigasi juga memaparkan secara sistematis penindasan sistemik di industri fast food. Selain penindasan buruh di gerai-gerai restoran, penindasan serupa juga ternyata terjadi di industri-industri pengolahan kentang dan daging yang menjadi rekanan restoran fast food. Nasib para buruhnya tak jauh berbeda dengan mereka yang bekerja di restoran cepat saji. Mereka hidup tanpa asuransi, tanpa tunjangan kesehatan, bahkan orang yang baru selesai operasi karena kecelakaan kerja juga dipaksa tetap kerja.

Seperti halnya di negara berkembang, pemerintah Amerika Serikat juga dipusingkan dengan terciptanya suburban-suburban baru. Sebab setiap tercipta suburban baru selalu diikuti dengan ledakan penduduk di kawasan tertentu. Apalagi kini perusahan-perusahaan industri fast food dan rekanannya seperti pengolahan daging atau kentang banyak mendatangkan pekerja-pekarja imigran seperti dari Meksiko atau buruh asing yang bisa dibayar murah.

Kondisi ini bahkan mengakibatkan kerawanan sosial yang cukup parah seperti meningkatnya tingkat kriminalitas dan masalah narkoba. Di Lexington, negara bagian Nebraska, misalnya, dalam satu dekade terakhir angka kejahatan serius melipat dua. Lexington juga berkembang menjadi pusat distribusi obat bius.

Di Amerika Serikat saja--belum di negara berkembang--industri fast food ternyata jauh dari sederhana dan sangat kompleks. Bila membaca buku ini seseorang kemungkinan bisa sangat membenci burger dan kawan-kawannya. Tetapi yang pasti buku ini tidak memprovokasi untuk bersikap seperti itu. Buku ini mengandung moral, bila Anda tengah mengkonsumsi apapun jenis fast food ingatlah di balik kelezatan tersebut ada orang yang berdarah-darah, ada orang yang ditindas, dan malah bisa jadi fast food yang Anda makan tengah mengintai jiwa.

*Penulis adalah penikmat dan pencinta buku

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f