Skip to main content

Transmigrasi dan Masa Depan Integrasi Bangsa

Sinar Harapan, Sabtu 12 Juni 2004

Judul : Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia
Penulis : Patrice Levang
Penerjemah : Sri Ambar Wahyuni Prayoga
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), IRD (Institut de recherché pour le developpement), dan Forum Jakarta Paris
Cetakan : Pertama, Desember 2003
Tebal : (xxvi + 362) halaman

PROGRAM transmigrasi dinilai memberikan andil cukup besar bagi terciptanya sejumlah kerusuhan yang berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di Tanah Air. Kerusuhan di beberapa wilayah di Kalimantan, Lampung, Nanggroe Aceh Darussalam, Ambon, dan Papua, selalu melibatkan antara warga lokal dengan pendatang yang umumnya adalah para transmigran.

Di Kalimantan, misalnya, trasmigrasi mulai mendatangkan masalah sejak 1970. Proyek transmigrasi yang didukung Bank Dunia ini mulai memunculkan permusuhan antaretnis. Proyek-proyek besar lanjutan dari transmigrasi seperti pertambangan, eksploitasi hutan, dan program sejuta hektare yang dicanangkan pada 1995, termasuk salah satu yang membuat persinggungan antara warga pribumi dan pendatang semakin tinggi. Eksploitasi sumber daya alam oleh sekelompok atau sebuah perusahaan tertentu menyebabkan warga transmigran dan warga lokal sulit mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Akibatnya sumberdaya yang terbatas diperebutkan oleh warga pendatang dan warga lokal.

Buku Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia, cukup komprehensif mengulas tentang transmigrasi di Indonesia. Patrice Levang, ahli agronomi asal Prancis yang menulis buku ini menjadi konsultan Departemen Transmigrasi plus melakukan penelitian selama 23 tahun di Indonesia. Rentang waktu yang sangat memadai untuk membedah keberhasilan, kegagalan, dan problematika transmigrasi yang digagas pemerintah kolonial sejak 1905 ini.

Sebelum mengulas ke masalah teknis transmigrasi, Patrice Levang terlebih dahulu menjelaskan istilah Tanah Sabrang yang baru diketahuinya setelah lama tinggal di Indonesia. Tanah Sabrang adalah sebutan untuk pulau yang berdekatan dengan Pulau Jawa. Maknanya kemudian meluas menjadi semua pulau yang berada di sekitar P. Jawa. Sedangkan pada massa penjajahan dikenal istilah pulau dalam dan pulau luar untuk membedakan pulau Jawa, Madura, dan Bali (Jambal) dengan pulau yang lebih jauh seperti Sumatra, Kalimantan, dan Papua.
Selama menjadi konsultan di Deptrans, Patrice Levang mengaku banyak mempresentasikan proposal dan konsep untuk menyukseskan transmigrasi. Namun, lebih banyak usulan yang ditolak. Belakangan diketahui, semua usulan yang tidak sejalan dengan usaha pertanian pangan intensif tidak berpeluang sedikitpun untuk diterima. Semua yang tidak sesuai dengan "Pola Jawa" ditolak, padahal kondisi iklim dan terutama kondisi lahan di sejumlah besar pulau selain Jambal tidak mendukung proyek yang menitikberatkan pada pola tanaman pangan intensif.

Bila proyek semacam itu yang dikembangkan banyak daerah yang menjadi unsuitable (tidak cocok) untuk transmigrasi. Keharusan mewujudkan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) mendorong Deptrans mengubah penggolongan lahan dari unsuitable menjadi moderately suitable dan mengubah moderately suitable menjadi suitable (hal. vii).

Menurut Patrice Levang, kacaunya program transmigrasi di Tanah Air, juga karena minimnya data statistik yang mendukung. Padahal, pada zaman kolonial data pendukung seperti foto udara, peta topografi, hidrografi, geologi, dan pedologi sangat lengkap.

Sementara pemerintah Orde Baru sebenarnya sangat rakus dengan data statistik. Dari mulai kecamatan hingga pusat data statistik sebenarnya sangat lengkap. Namun, keandalannya sangat rendah. Data banyak yang cacat karena dua faktor. Pertama akibat data yang sengaja dimanipulasi demi alasan politis (untuk pencapaian target Pelita) dan kedua lebih pragmatis sifatnya, yakni untuk menyenangkan atasan langsung atau yang dikenal dengan joke asal bapak senang (hal. x-xi).

***

Program transmigrasi adalah salah satu unsur pembangunan nasional. Dalam program ini ada sejumlah tujuan dan gerakan masif yaitu memacu pembangunan di luar Jawa, meningkatkan taraf hidup petani miskin, menciptakan lapangan kerja baru, mengendalikan pertambahan penduduk di Jambal, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional.

Namun, sasaran yang terakhir lebih sering gagal daripada menuai hasil. Konflik di sejumlah daerah di Indonesia lebih banyak disebabkan program transmigrasi. Bahkan pada era Orba kontroversi tentang program transmigrasi merebak. Ada yang berkomentar atau menulis bahwa trasmigrasi hanya memindahkan kemiskinan. Bahkan transmigrasi juga disebut-sebut sebagai politik penghapusan etnis, jawanisasi, dan islamisasi (hal 36-37).

Sepertinya, konflik dan sejumlah prasangka akan tetap lahir di daerah transmigrasi selama masyarakat lokal tetap merasa dirampok sumber daya alamnya oleh pusat. Selain itu, perasaan warga lokal menjadi warga kelas dua dan teralienasi di tanah leluhurnya juga menjadikan transmigrasi bukan malah menjadi sumber perekat bangsa tetapi malah menjadi sumber disintegrasi.

*Penulis adalah periset di Lembaga Kajian Media Massa dan Budaya di Bogor, Jawa Barat

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f