Judul : Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia
Penulis : Patrice Levang
Penerjemah : Sri Ambar Wahyuni Prayoga
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), IRD (Institut de recherché pour le developpement), dan Forum Jakarta Paris
Cetakan : Pertama, Desember 2003
Tebal : (xxvi + 362) halaman
PROGRAM transmigrasi dinilai memberikan andil cukup besar bagi terciptanya sejumlah kerusuhan yang berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di Tanah Air. Kerusuhan di beberapa wilayah di Kalimantan, Lampung, Nanggroe Aceh Darussalam, Ambon, dan Papua, selalu melibatkan antara warga lokal dengan pendatang yang umumnya adalah para transmigran.
Di Kalimantan, misalnya, trasmigrasi mulai mendatangkan masalah sejak 1970. Proyek transmigrasi yang didukung Bank Dunia ini mulai memunculkan permusuhan antaretnis. Proyek-proyek besar lanjutan dari transmigrasi seperti pertambangan, eksploitasi hutan, dan program sejuta hektare yang dicanangkan pada 1995, termasuk salah satu yang membuat persinggungan antara warga pribumi dan pendatang semakin tinggi. Eksploitasi sumber daya alam oleh sekelompok atau sebuah perusahaan tertentu menyebabkan warga transmigran dan warga lokal sulit mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Akibatnya sumberdaya yang terbatas diperebutkan oleh warga pendatang dan warga lokal.
Buku Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia, cukup komprehensif mengulas tentang transmigrasi di Indonesia. Patrice Levang, ahli agronomi asal Prancis yang menulis buku ini menjadi konsultan Departemen Transmigrasi plus melakukan penelitian selama 23 tahun di Indonesia. Rentang waktu yang sangat memadai untuk membedah keberhasilan, kegagalan, dan problematika transmigrasi yang digagas pemerintah kolonial sejak 1905 ini.
Sebelum mengulas ke masalah teknis transmigrasi, Patrice Levang terlebih dahulu menjelaskan istilah Tanah Sabrang yang baru diketahuinya setelah lama tinggal di Indonesia. Tanah Sabrang adalah sebutan untuk pulau yang berdekatan dengan Pulau Jawa. Maknanya kemudian meluas menjadi semua pulau yang berada di sekitar P. Jawa. Sedangkan pada massa penjajahan dikenal istilah pulau dalam dan pulau luar untuk membedakan pulau Jawa, Madura, dan Bali (Jambal) dengan pulau yang lebih jauh seperti Sumatra, Kalimantan, dan Papua.
Selama menjadi konsultan di Deptrans, Patrice Levang mengaku banyak mempresentasikan proposal dan konsep untuk menyukseskan transmigrasi. Namun, lebih banyak usulan yang ditolak. Belakangan diketahui, semua usulan yang tidak sejalan dengan usaha pertanian pangan intensif tidak berpeluang sedikitpun untuk diterima. Semua yang tidak sesuai dengan "Pola Jawa" ditolak, padahal kondisi iklim dan terutama kondisi lahan di sejumlah besar pulau selain Jambal tidak mendukung proyek yang menitikberatkan pada pola tanaman pangan intensif.
Bila proyek semacam itu yang dikembangkan banyak daerah yang menjadi unsuitable (tidak cocok) untuk transmigrasi. Keharusan mewujudkan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) mendorong Deptrans mengubah penggolongan lahan dari unsuitable menjadi moderately suitable dan mengubah moderately suitable menjadi suitable (hal. vii).
Menurut Patrice Levang, kacaunya program transmigrasi di Tanah Air, juga karena minimnya data statistik yang mendukung. Padahal, pada zaman kolonial data pendukung seperti foto udara, peta topografi, hidrografi, geologi, dan pedologi sangat lengkap.
Sementara pemerintah Orde Baru sebenarnya sangat rakus dengan data statistik. Dari mulai kecamatan hingga pusat data statistik sebenarnya sangat lengkap. Namun, keandalannya sangat rendah. Data banyak yang cacat karena dua faktor. Pertama akibat data yang sengaja dimanipulasi demi alasan politis (untuk pencapaian target Pelita) dan kedua lebih pragmatis sifatnya, yakni untuk menyenangkan atasan langsung atau yang dikenal dengan joke asal bapak senang (hal. x-xi).
***
Program transmigrasi adalah salah satu unsur pembangunan nasional. Dalam program ini ada sejumlah tujuan dan gerakan masif yaitu memacu pembangunan di luar Jawa, meningkatkan taraf hidup petani miskin, menciptakan lapangan kerja baru, mengendalikan pertambahan penduduk di Jambal, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional.
Namun, sasaran yang terakhir lebih sering gagal daripada menuai hasil. Konflik di sejumlah daerah di Indonesia lebih banyak disebabkan program transmigrasi. Bahkan pada era Orba kontroversi tentang program transmigrasi merebak. Ada yang berkomentar atau menulis bahwa trasmigrasi hanya memindahkan kemiskinan. Bahkan transmigrasi juga disebut-sebut sebagai politik penghapusan etnis, jawanisasi, dan islamisasi (hal 36-37).
Sepertinya, konflik dan sejumlah prasangka akan tetap lahir di daerah transmigrasi selama masyarakat lokal tetap merasa dirampok sumber daya alamnya oleh pusat. Selain itu, perasaan warga lokal menjadi warga kelas dua dan teralienasi di tanah leluhurnya juga menjadikan transmigrasi bukan malah menjadi sumber perekat bangsa tetapi malah menjadi sumber disintegrasi.
*Penulis adalah periset di Lembaga Kajian Media Massa dan Budaya di Bogor, Jawa Barat
Sinar Harapan, Sabtu 12 Juni 2004
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada