Skip to main content

Tabloid Anak Pinggiran dari Gudang Seng

Pikiran Rakyat, Minggu 20 Juli 2003

HALTE Gudang Seng Kalimalang Jakarta Timur. Seorang bocah perempuan kira-kira berusia 14 tahun menenteng sebuah tabloid dengan banner NIAT dan moto "Mengembangkan Kemandirian Anak". Di samping kanan ada pesan redaksi, "Diterbitkan sebagai tempat belajar mengembangkan minat dan bakat anak untuk ikut membangun masyarakat yang cerdas."

Tabloid yang dicetak dua warna, merah dan hitam itu lumayan menarik perhatian saya yang sedang menunggu bus Metromini jurusan Kampung Melayu-Pondok Kelapa. Bocah berbaju lusuh dan tak sedap dipandang itu diketahui bernama Hani.

"Boleh saya pinjam tabloidnya!" pinta saya.

Beberapa saat Hani tak menjawab, hanya menoleh

"Nih." Hani menyodorkan tabloid yang dimaksud, sesaat kemudian.

Setiap kali membaca majalah, tabloid, jurnal, atau koran yang baru dikenal, saya selalu melihat nama di balik masthead. Bukan masalah iseng, namun saya yakin, kredibilitas suatu penerbitan sangat bergantung pada pengurus dan pengelolanya.

Pandangan saya kemudian tertumbuk pada halaman satu di bagian bawah. Di situ tercantum nama penerbit, alamat, anggota redaksi, serta informasi buat siapa saja yang ingin mengirimkan tulisan dalam berbagai bentuk, seperti opini, reportase, hasil wawancara, atau surat pembaca. Dalam boks tabloid 16 halaman itu tercantum nama penerbit: Sanggar Anak Akar (SAA). Alamatnya tercantum lengkap di Jalan Inspeksi Saluran Jatiluhur No. 30 RT 7 RW 1, Cipinang Melayu Jakarta Timur 13620.

"Pokoknya dari sini sekira 200 meter. Nyebrang jembatan dan nanti belok kanan, terus menyusur tanggul, nanti ketemu panggung dan rumah bambu. Nah, sanggar di situ," tunjuk Hani.

Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di SAA. Dari jalan tanah berdebu, sudah terlihat tulisan berwarna hijau "Sanggar Baca Anak Akar" dalam medium kulit kambing yang sudah mengering diapit dua tiang kokoh.
Pertama kali yang menarik perhatian penulis adalah perpustakaan dan taman bacaan. Taman bacaan berbentuk panggung itu terbuat dari belahan dan gelondongan bambu. Suasananya cukup nyaman, tetapi kadang-kadang terganggu debu dari jalan yang ditiupkan mobil lewat.

Ibe Karyanto -- yang menjadi rektor alias sesepuh sanggar -- mencatat koleksi perpustakaan sebanyak 2.506 buku di luar majalah yang sebagian tak berjilid. Buku yang dipajang dalam empat rak dari kayu itu berasal dari sumbangan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan ada juga yang dibeli dengan dana sanggar. "Minat baca anak-anak cukup tinggi dan mereka juga sangat berminat dalam tulis-menulis," kata Ibe yang di kalangan anak-anak pinggiran dipanggil uwak.

Tidak hanya perpustakaan, di kompleks sanggar yang luasnya sekira 200 meter persegi juga dilengkapi kios kecil yang memajang buku, kaos, kartu pos, dan stiker. Sayangnya, barang-barang di etalase itu kotor dan berdebu tebal. Agak lebih ke dalam terdapat saung yang cukup luas dan berlantai semen. Saung itu adalah tempat anak-anak berlatih teater yang jumlahnya sekira 50 orang. Jumlah mereka akan bertambah hingga 300 orang bila Ahad tiba. Mereka adalah anak-anak pinggiran dari enam basis yang bergabung dengan SAA. Mereka berasal dari Penas Lama, Duren Sawit, Cakung, Bantargebang, Halim, dan Jatinegara. "Anak-anak yang aktif baik di sanggar atau di basis komunitas disebut mahasiswa, sedangkan para pengajar seperti saya disebut dosen," kata Ibe yang lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini.

Agak lebih ke dalam lagi terdapat bengkel kerja tempat anak-anak pinggiran mengerjakan berbagai pesanan seperti spanduk, tas, dan topeng aksesori rumah. Di lantai dua bangunan kayu itu terdapat kantor redaksi NIAT yang dilengkapi dua unit komputer. Di ruangan ukuran 3x4 meter itulah awak NIAT mengolah, mengedit, menyusun tata letak serta merencanakan pemasaran.

***

DALAM leaflet yang saya baca di ruangan redaksi NIAT, SAA berdiri sejak November 1994. Namun mulai resmi melepaskan diri dari asuhan Institut Sosial Jakarta sejak 2000. Menurut Ibe, SAA memosisikan sebagai media pendidikan untuk anak-anak pinggiran. "Mereka kebanyakan pengamen, pemulung, kuli, buruh, dan pembantu rumah tangga. Bahkan sebagian dari mereka sudah menjadi pilar ekonomi keluarga," kata Ibe.

Karlina Leksono-Supelli dalam pengantar buku Jurnalisme Anak Pinggiran (1999) mendefinisikan anak pinggiran sebagai, "Anak-anak yang oleh sesuatu sebab tidak mendapatkan tempat yang layak dalam derasnya arus kehidupan. Mereka adalah semua anak yang entah alasan ekonomi, sosial, budaya, dan politik telah kehilangan hak-hak dasarnya sebagai anak".

***

HARI beranjak Asar. Saya masih asyik membuka halaman demi halaman NIAT di taman bacaan yang mulai ramai dengan celoteh anak-anak. Mereka bebas bermain dan berekspresi di sanggar setelah seharian belajar di sekolah. Buat anak-anak jalanan atau pemulung, sanggar menjadi tempat melepas penat setelah seharian mengais rezeki. Penampilan mereka unik dan khas: rata-rata memakai anting, kalung, rantai yang dihubungkan dari kuping ke hidung, dan ada juga yang bertato. "Buat kami, aksesori itu bukan untuk gagah-gagahan. Cuma sekadar seni," kata Andre, anak sanggar yang mengaku kerasan tinggal di Gudang Seng daripada ngendon di rumahnya di bilangan Penas Lama Jaktim.

NIAT edisi No. 4 Tahun VII Desember 2001 menulis laporan utama dengan judul Membangun Perdamaian Lewat Pendidikan. Dalam tajuknya, redaksi memberikan alasan memuat laporan utama itu. "Terbitan kali ini masih memilih tema pendidikan. Jadi, untuk pembaca dan pelanggan jangan bosan, soalnya sudah salah satu ciri khas NIAT menampilkan berbagai masalah pendidikan yang terjadi, agar kita semua tahu bahwa masalah pendidikan itu tidak pernah bosan untuk dibicarakan, tetapi semua bosan untuk menanti solusinya".

Rubrik NIAT cukup bervariasi. Ada rubrik Ragam, Tegur Sapa, Warung (Wawancara Unggulan), Profil, Taman (Ciptaan Teman), Halte (Halaman Terbuka), dan Kamar (Kata Mereka). Ragam berisi informasi dan laporan singkat. Tegur Sapa berisi usulan atau keluhan baik dari sesama anggota sanggar atau dari pelanggan.
Di bagian tengah ada Warung. Dalam edisi Desember 2001 dimuat hasil wawancara mahasiswa sanggar bernama Sandy, Pray dan Agnes dengan figur generasi muda Nadlatul Ulama Ulil Abshar Abdala di kantornya di Jalan Percetakan Negara No. 55C, Rawasari, Jakarta Pusat. Judul hasil wawancara itu "Pendidikan di Jakarta Membuat Orang Terkotak-Kotak".

Distribusi dan pelanggan tabloid tiga bulanan ini lumayan luas. Dalam NIAT No. 3 Tahun VIII November 2001 tercantum nama-nama pelanggan yang cukup dikenal di kalangan aktivis seperti Karlina Leksono-Supelli (Suara Ibu Peduli), Dolorosa Sinaga (pematung), Arjuna Hutagalung (pemusik), Maria Hartiningsih (wartawan), Suhana Natawilwana (pengacara), dan Yessy Gusman (artis). Ada juga pelanggan yang bersifat kelembagaan seperti Komnas Perempuan, Pact Indonesia, serta Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).

Untuk mengajar anak-anak menulis menurut Ibe, SAA tak pernah kekurangan dosen. Mereka yang tercatat pernah memberikan pelatihan di antaranya Dolorosa Sinaga dan penulis kondang Martin Aleida. "Pelatihan digelar rutin dan sangat diminati anak-anak," kata Ibe. "Tabloid NIAT menjadi medium buat mereka yang berada di sanggar dan di basis komunitas untuk mengekspresikan gagasan dan realitas sosial di sekitarnya," lanjut penulis buku "Realisme Sosialis Georg Lukacs" ini.

Untuk berita dan informasi, NIAT tak pernah kekurangan bahan. Kontributor amatir dari sejumlah basis atau komunitas tak pernah berhenti mengirimkan informasi atau hasil liputannya. Mereka mengirim berita ada yang sudah diketik ada juga dalam bentuk tulisan tangan. Pengiriman berita pun jangan membayangkan seperti penerbitan profesional yang computerized. Mereka bisa mengantar berita sendiri ke redaksi atau dititipkan ke para dosen yang kebetulan memberikan pelatihan ke basis-basis.
Peneliti sejarah yang juga aktivis Jaringan Kerja Budaya Hilmar Farid menilai, NIAT termasuk media komunitas anak pinggiran yang cukup eksis dan dikelola hampir seratus persen oleh mahasiswa sanggar dari mulai urusan redaksional, keuangan, hingga distribusi. "NIAT cukup bagus sebagai media ekspresi mereka, tetapi jangan membayangkan secara distribusi dan oplah akan menyamai media anak-anak komersial," kata Hilmar.

Galibnya media alternatif, menurut Hilmar, media yang dikelola anak pinggiran akan selalu terbentur pada persoalan klasik: kekurangan dan kesulitan dana. Ini lantaran media anak pinggiran tak menarik pemasang iklan. Oleh karena itu, Hilmar salut dengan NIAT yang tetap eksis kendati kadang-kadang terbit tak teratur. "Mahasiswa sanggar giat mencari dana dan tak pernah mengeluh. Di sisi lain banyak pengelola media alternatif orang dewasa merengek dan cengeng didera kesulitan dana sehingga mempunyai alasan untuk berhenti terbit," tutur Hilmar yang berencana menerbitkan karya sastra eksil dalam waktu dekat ini.

Menurut Hilmar, buat anak pinggiran, NIAT adalah medium ekspresi. Lantaran itu jangan berharap karya tulis mereka dibanding-bandingkan dengan media konvensional yang serba teratur dan terstruktur. Buat anak pinggiran, gramatika dan kerapian tak menjadi fokus perhatian. Kendati demikian, pelatihan jurnalistik yang kerap digelar SAA, sedikit demi sedikit membuat tulisan mereka teratur.

Keterampilan menulis mahasiswa sanggar tidak hanya diasah lewat NIAT, tetapi juga lewat medium lain, seperti menulis buku. Tercatat, SAA telah menelurkan tiga buku masing-masing Tuhan Temani Aku (1995), Perjuangan Anak Pinggiran (1999), dan Tindakan Kemanusian Anak-anak Pinggiran (2002). Buku terakhir, murni hasil karya anak-anak pinggiran berdasarkan pengalamannya menjadi relawan selama menolong masyarakat saat banjir menggenangi Ibu Kota sejak Februari hingga April 2002.

Pengalaman mahasiswa SAA itu ditulis dengan gaya story telling yang sebelumnya telah diedit tanpa menghilangkan makna dan kepolosan dalam gaya tulisannya. Judul-judul tulisan mereka cukup menarik, seperti "Menjadi Perawat Dadakan", "Meninggalkan Rumah untuk Membantu Orang Lain", "Tidak Ada Pilihan Selain Menolong", dan "Sudah Kedinginan Dikira Maling".

Pengalaman mereka juga sangat natural dan unik. Misalnya, pengalaman Uwing yang ditulis dengan judul "Menjadi Perawat Dadakan". Diceritakan, Uwing bersama teman-temannya di sanggar menerima kiriman obat-obatan dari sebuah lembaga. Namun, mereka tak tahu khasiat obat-obatan tersebut. Pada saat yang bersamaan ada warga yang memaksa minta diobati lantaran kakinya tertusuk paku. Uwing terpaksa memberikan sebuah vitamin yang sama sekali tak ada hubungannya dengan luka di kaki. Uwing dan rekannya hanya dapat tersenyum geli ketika esoknya warga yang tertusuk paku mengaku sembuh setelah minum vitamin itu.

Pengalaman Uwing lainnya mengobati pasien dengan metode "untung-untungan" terjadi ketika membantu seorang ibu yang mengaku gatal-gatal dan meminta salep kulit. Ketika itu anak-anak malah memberikan salep mata lantaran salep kulit habis. Namun, keajaiban datang lagi ketika esoknya si ibu mengaku gatal-gatalnya sudah sembuh.

Itulah ekspresi anak-anak SAA dalam menceritakan pengalaman dalam tulisan yang rata-rata panjangnya satu setengah halaman. Hilmar yang memberi pengantar dalam buku setebal 127 halaman itu menyebutkan tulisan mereka sebagai "Ekspresi kemanusiaan yang hadir dari kalangan biasa, bukan kumpulan orang suci, kaya, terkenal, dan berpengaruh seperti yang sering kita lihat di televisi".

Hari beranjak petang. Lamat-lamat dari pojokan sanggar seorang bocah laki-laki menyanyikan sebaris syair sambil berteriak-teriak, "Anak pinggiran tak pernah merasa lelah membangun mimpi-mimpi di atas kakinya sendiri!" Suara adzan menggema. Hari semakin gelap. Aktivitas anak pinggiran di saung belum ada tanda-tanda berhenti.

Penulis, Periset di Lembaga Kajian Media dan Budaya di Bogor Jawa Barat.

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f