Judul : Vox Populi Vox Dei
Penulis : Benny Susetyo
Penerbit : Averroes Press
Pengantar : Prof. Franz Magnis –Suseno, SJ
Cetakan : Pertama, Januari 2004
Tebal : (xvii + 194) halaman
BUKU ini adalah kompilasi atau antologi esai reflektif Romo Benny Susetyo yang pernah dimuat di media massa dan sebagian lagi belum pernah dipublikasikan. Benang merah tulisannya menyoroti tiga penyakit kronis yang tengah menjangkiti bangsa Indonesia, meliputi krisis kepemimpinan, krisis moral, dan hasilnya berupa korupsi yang telah membudaya. Ketiga masalah tersebut mendapat porsi pembahasan yang cukup dominan.
Krisis kepemimpinan secara kasat mata di antaranya dapat dilihat dari perilaku elite politik Indonesia yang hanya bisa mengeluh, bila dikritik gampang marah, dan selalu mencari kambing hitam. Krisis kepemimpinan juga ditandai dengan ketidakmampuan elite membaca keinginan rakyat. Akibatnya, rakyat Indonesia hidup dalam kungkungan seolah-olah. Seolah-olah ada pemimpin, meskipun fungsinya sangat meragukan.
Seolah-olah ada partai politik meskipun pekerjaannya hanya mencari musuh. Seolah-olah ada hukum normatif yang pasti meskipun itu cuma tertera di atas kertas. Seolah-olah ada tentara sebagai alat pengaman, meskipun yang terjadi bentrokan terus terjadi di dalam negeri.
Kebanyakan elite politik lebih memilih tak punya nama baik bila nama baik tersebut malah menghilangkan jabatan sebagai pemimpin atau penguasa. Sebab bagi mereka, menjadi pemimpin adalah kesempatan mendulang uang sebanyak-banyaknya dan kalau bisa dapat menghidupi keluarga hingga tujuh turunan. Tanggung jawab moral tidak lagi dimiliki para elite politik. Bagi mereka menjadi pemimpin hanya menjadi ajang bagi-bagi duit. Setiap hari para elite hanya berpikir bagaimana agar rakyat dapat dipersuasi atau kasarnya dibohongi. Ironisnya, publik masih menerima mereka sebagai tokoh yang patut diteladani. (Hal. 47)
Dalam panggung politik, dengan cukup gamblang bisa dilihat ada dua situasi yang kontras, yaitu harapan rakyat namun tidak terealisasikan serta situasi dan kondisi yang dikutuk rakyat tetapi justeru terjadi berulang-ulang. Seorang koruptor dan bandit bisa berkeliaran di negeri ini karena mereka paham antara moralitas politik dan realitas politik tidak ada hubungan. Moralitas politik yang dituntut rakyat sebenarnya sangat sederhana bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vok dei). Pesannya singkat saja, dengar suara rakyat jangan dimanipulasi. (Hal. 70)
Di sisi lain, agama yang diharapkan menekan tiga krisis tersebut gagal berperan. Bahkan sepertinya agama terasing dari realitas. Ini semua disebabkan karena agama sejauh ini baru sebatas menciptakan kesucian individual tidak melahirkan kesalehan sosial.
Agama oleh para pimpinan politik dan elite kerap hanya dijadikan aspirasi bukan inpirasi. Aspirasi dalam agam dipahami dalam bentuk simbol-simbol bukan menggali dan mengamalkan makna di balik simbol. Simbol-simbol ini yang kerap membuat kerusakan di muka bumi. (Hal. 143)Sebagaimana hasil kompilasi lainnya, pembahasan masalah utama dalam buku ini memang tidak dapat menjelaskan tema utama secara rinci dan gamblang. Namun, pembaca bisa tertolong dengan kebiasaan Romo Benny yang mengulang-ulang satu masalah dalam beberapa tulisan. Misalnya saja masalah korupsi, krisis kepemimpinan, dan soal peran agama dalam masyarakat dapat ditemui di sejumlah tulisan.
Seperti disadari oleh penerbitnya bahwa publikasi tulisan-tulisan tersebut memang tidak didedikasikan terlalu muluk melainkan hanya sebuah perekaman sejarah sehingga generasi mendatang dapat melihat generasi masa lalunya. Sekadar untuk cermin dan menunjukkan bahwa pada zaman atau rezim tertentu Indonesia pernah mengalami suatu masa yang gelap dan pernah dipimpin oleh elite korup.
Sinar Harapan, 10 April 2004
*Peresensi adalah Periset di Lembaga Kajian Media Massa dan Budaya di Bogor, Jawa Barat
ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada