Skip to main content

Remy Sylado Nggak Ada Matinye!

Waspada Online, 26 Mei 2004

MEMBACA novel karya Remy Sylado benar-benar berwisata dan belajar sejarah yang sangat menarik. Sejarah dikemas cukup mendalam, penuh greget, dan eksotis, seperti dalam novel Kembang Jepun (2003). Kendati novel ini bercerita tentang sosok geisha Indonesia, namun setting-nya tetap mengambil sejarah bangsa yang sarat konflik, etnik, perjuangan, dan sisi humanisme seperti cinta, cemburu, dan kasih sayang.

Sejarah inilah yang menurut Remy adalah 'sisi lain' yang menjadi lahan garapan sekaligus yang menjadi daya jual karyanya. Remy memang piawai dalam mempresentasikan referensi historis yang dimilikinya. Sedikitnya, untuk sebuah novel Remy membutuhkan 30 referensi tua alias kuno yang diperolehnya dari pelosok Tanah Air dan dunia. Uniknya, sejumlah novel karya Remy, sebelum diterbitkan dalam sebuah buku terlebih dahulu dimuat di surat kabar lokal yang menjadi tempat sejarah tersebut lahir dan berkembang. Ca Bau Kan sebelumnya menjadi cerita bersambung di Harian Republika, Parijs van Java berseri di Koran Tempo, dan Kembang Jepun juga sempat menjadi cerita bersambung di Harian Surya Surabaya.

Seperti dalam novel Ca Bau Kan (1999), Kerudung Merah Kirmizi (2002), dan Parijs van Java (2003), Kembang Jepun juga menghadirkan sosok berlatar hitam putih. Remy juga lebih senang menggunakan tokoh saya dan aku atau kata ganti orang pertama dalam lakon novelnya. Dalam Kembang Jepun di awal halaman tegas-tegas sudah tertulis: "Saya geisha. Saya suka menjadi geisha, sebab geisha menyenangkan. Gei berarti seni dan Sha berarti pribadi". Atau di bab terakhir: "Sebetulnya saya malu bercerita tentang diri saya. Sebab saya menyadari bahwa prikehidupan saya adalah ibarat suatu panggung kekotoran."
Sosok orang pertama juga digunakan Remy dalam Kerudung Merah Kirmizi. Ini terlihat tegas dalam penggalan alinea: "Atasnama cinta, hormat, ketulusan, dan putusasa, setelah menjadi janda aku tetap menyandang nama suamiku, Andriono. Dalam kartu nama yang telah aku berikan kepada siapa saja, termasuk kepada Anda nanti, tertera nama jelasku, Ny. Myrna Andriono."

Begitu juga halnya dalam Parijs van Java, seperti dalam paragraf: "Perkenalkan. Namaku Gertruida van Veen. Dengan menyebut namaku, moga-moga Anda segera maklum bahwa sebetulnya aku juga Belanda. Maksudku, nenek moyangku adalah Belanda belaka."

Penggunaan kata saya atau aku dalam sebuah novel atau cerpen memang cukup menarik. Bila karya itu bagus, pembaca akan lebih berempati dan bahkan terlibat secara emosional. Pembaca akan mengerti, memahami nasib dan bahkan akan menyelami sosok dan pribadi tokoh dalam novel tersebut. Tetapi tentu saja penggunaan kata ganti orang pertama ini kadang juga cukup menyulitkan untuk bercerita sesuatu yang berada di luar tokoh utama sehingga pelaku (saya) harus memposisikan sebagai orang yang tengah bercerita pengalaman masa lalu, seperti dalam kalimat: "Kelak saya akan berkata bahwa pandangan Kotaro Takamura dan orang-orang Jepang yang lain adalah sisa kesombongan masa silam."

Sayangnya, dalam Kembang Jepun Remy tidak konsisten menggunakan kata ganti orang pertama ini. Dalam artian, Remy kesulitan ketika akan menceritakan hal-hal yang berada di luar tokoh utama. Misalnya di awal bab enambelas tertulis: "Tjak Broto dan mantan istrinya yang mantan Kembang Jepun itu, kini kembali lagi ke Surabaya."

Padahal dalam konteks keseluruhan buku dan bab, tokoh utama sedang menceritakan dirinya sendiri. Pertanyaannya kemudian, berarti siapa yang sedang menceritakan kisah itu? Ketidakkonsistenan ini tentu saja cukup mengganggu. Dengan demikian Remy berada di posisi 'orang luar', tidak sebagai pelaku (saya).
Bagi yang sudah membaca novel Memoar Seorang Geisha karya Arthur Golden, Kembang Jepun akan menjadi pelengkap pengetahuan pembaca mengenai kehidupan geisha. Namun demikian, Kembang Jepun tentu saja lebih unggul bagi pembaca domestik karena kedekatan atau proximity sejarah dan kedekatan emosional.

***

Kembang Jepun bercerita tentang sosok Keke asal Minahasa, Sulawesi Utara, yang dijual sejak usia sembilan tahun kepada seorang pemilik rumah geisha di Surabaya. Untuk mengelabui 'pasar', nama Keke kemudian diubah menjadi Keiko. Saat itu Keke sempat menganggap bersatu raga dengan banyak lelaki adalah pekerjaan yang mulia. Seperti halnya geisha Jepang tulen, Keke pun menerima pekerjaan geisha sebagai kebenaran.
Kelak, wajah dan nama Keiko menyebabkan Keke harus menginjakan kaki ke Jepang setelah 'Saudara Tua' itu tunduk di bawah Sekutu. Padahal, saat itu Keke dalam status nikah dengan Tjak Broto, seorang wartawan handal yang korannya dibredel pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya diceritakan-lah kesulitan hidup Keke setelah pulang dari Jepang yang mendapatkan kenyataan suaminya sudah menikah dengan perempuan Sunda. Melihat kenyataan itu Keke memilih balik ke Minahasa. Namun, di tanah kelahirannya pula Keke harus masuk lagi ke dalam perangkap harimau lantaran di sana juga tengah terjadi pemberontakan Permesta. Keke kembali menjadi bulan-bulanan seks, cuma kali ini dari laki-laki bangsa sendiri, tentara Permesta yang notabene satu suku, satu kebiasaan, dan satu budaya. Modal keterampilan bertani selama di Blitar--setelah keluar dari rumah geisha--akhirnya membawa Keke hidup mengasingkan diri di hutan selama 25 tahun. Cerita ditutup dengan happy ending ketika pada usia 62 tahun Keke kembali ke dalam pelukan suaminya yang sama-sama sudah sepuh.

Sepertinya, Kembang Jepun juga akan menuai sukses seperti Ca Bau Kan atau Kerudung Merah Kirmizi. Selain cetak ulang berkali-kali Ca Bau Kan dalam versi filmnya juga lolos dalam seleksi awal Oscar 2003. Sedangkan Kerudung Merah Kirmizi mendapat anugerah Khatulistiwa Literary Award 2002.

Proses kreatif dan produktivitas Remy mengolah imajinasi, fakta, dan kata-kata memang tak diragukan lagi. Remy emang nggak ada matinye! Tulisannya kaya dengan warna lantaran Remy termasuk seniman serba bisa. Lihat saja aktivitasnya, selain dikenal sebagai munsyi ia juga pekerja teater, film, perupa, teolog, dan pengamat musik. Bahkan Remy Sylado baru saja menerbitkan novel terbarunya Sam Po Kong setebal 1.128 halaman. Ini baru buku pertama dari rencana enam seri. Seperti novel-novel sebelumnya, Sam Po Kong (Laksamana Cheng Ho) juga dimuat terlebih dahulu di media tempat sejarah itu berkisah, Suara Merdeka Semarang.

* Penulis adalah pencinta sastra dan periset di Lembaga Kajian Media Massa dan Budaya di Bogor, Jawa Barat.

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f