Sinar Harapan, Sabtu 13 September 2003
BEBERAPA pekan terakhir, sejumlah tayangan infotainment di televisi partikulir mengusung isu yang lain dari biasanya. Bila selama ini tayangan hiburan tersebut penuh dengan isu kawin-cerai dan kisah cinta para selebriti, pekan-pekan terakhir agak berbeda. Sejumlah infotainment lebih banyak menyoroti kiprah para pesohor itu dalam bidang politik.
Sebut saja Anwar Fuadi. Pekerja sinetron ini lebih dulu membuat heboh dengan mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatra Selatan, kendati akhirnya gagal karena minus dukungan. Gagal menjadi gubernur bukan berarti mundur jauh melainkan nekat mencalonkan untuk posisi nomor satu di Tanah Air. Anwar yang Ketua Umum Persatuan Aktor dan Aktris Sinetron Indonesia (Parsi) ini mencalonkan diri sebagai calon presiden dengan mengikuti konvensi Partai Golkar.
Pelawak Dedi Miing Gumelar juga tak mau kalah. Pengocok perut dari Grup Bagito ini mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk Provinsi Banten. Namun belakangan ia terpaksa membatalkan niatnya karena dalam peraturan tidak membolehkan seseorang yang tinggal di luar Banten dan tidak mempunyai kartu tanda penduduk Banten mencalonkan diri. Padahal, Miing banyak mendapat dukungan dari warga Banten.
Artis lain yang juga serius terjun ke dunia politik adalah Nurul Arifin. Mahasiswa extention ilmu politik Universitas Indonesia dan aktivis perempuan ini memutuskan untuk bergabung dengan Partai Golkar. Kendati dijauhi sejumlah teman sesama aktivis karena masuk Golkar, istri wartawan Mayong Suryo Leksono ini tak gentar untuk berkampanye bagi Partai Beringin.
Artis lain yang juga merambah politik adalah Rieke Diah Pitaloka. Artis yang juga mahasiswa program master filsafat UI ini memutuskan untuk masuk Partai Kebangkitan Bangsa. Sedangkan Emilia Contessa lebih memilih Partai Persatuan Pembangunan. Sebelumnya artis Wanda Hamidah dan Pong Harjatmo telah lebih dulu masuk Partai Amanat Nasional.
Masuknya para selebriti ke dunia politik sebenarnya cukup menggembirakan, kendati pada masa Orde Baru juga tak sedikit para pesohor yang terjun ke dunia politik. Misalnya tokoh musik dangdut Rhoma Irama yang sempat duduk sebagai anggota MPR mewakili Partai Golkar dan aktor Sophan Sophiaan yang sempat mengecap sebagai wakil rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan pada era reformasi sempat menjadi anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun pada masa itu hanya beberapa orang saja yang konsisten. Selebihnya mereka masuk dunia politik hanya untuk mencari aman sebagai akibat pemerintahan yang otoriter.
Tetapi di era reformasi ini, selebriti yang masuk kancah politik lebih didorong karena terbuka peluang dan kesempatan yang didukung bekal pendidikan yang cukup bagus. Mereka tidak hanya mengandalkan keartisannya tetapi juga otak dan perilakunya selama ini di masyarakat.
Tidak salah bila seorang selebriti masuk dunia politik Di luar negeri, khususnya Amerika Serikat, bintang film menjadi politikus bukan barang yang aneh. Misalnya saja Amerika sempat dipimpin Ronald Reagen (92), seorang presiden yang mantan aktor koboi. Aktor Clint Easwood (73) pernah menjabat sebagai Walikota Carmel, California, dan mendiang aktor Sony Bono pernah menduduki kursi Walikota Palm Springs. Di tingkat Asean, Filipina juga pernah dipimpin mantan aktor Josef Estrada. Paling mutakhir di Amerika, aktor laga Arnold Schwarzenegger mencalonkan diri sebagai Gubernur California dan telah mengikuti pemilihan 7 Oktober lalu.
Bagi seorang selebriti, masuk dunia politik adalah selangkah lebih maju dari profesi lain. Bahkan seorang pengamat politik dari Amerika menyebutkan, gelar magna cum laude dari Harvard saja tak bisa menandingi langkah para selebriti masuk dunia politik. Artinya, buat seorang selebriti untuk masuk dunia politik tak harus mengeluarkan biaya banyak bila dibandingkan dengan calon lain. Sebab mereka tak harus mengeluarkan biaya besar. Karena sosok dan aktivitas artis bagi sebuah media sudah menjadi berita.
Ini bisa dicontohkan dengan kasus di Indonesia. Para selebriti tak harus sibuk membuat konferensi pers yang megah. Bahkan para wartawan tanpa diundang menyatroni rumah mereka. Ini berbeda dengan calon lain dari profesi lain yang harus mengeluarkan biaya banyak hanya untuk sekadar jumpa wartawan. Belum lagi biaya ekstra untuk iklan di media massa yang sangat mahal. Lihat saja Surya Paloh, untuk kampanye pencalonan dirinya sebagai presiden melalui konvensi Partai Golkar ia harus mengeluarkan kocek sebesar Rp 1 miliar untuk kunjungan ke daerah plus pesawat jet pribadi jenis BAE.
Beruntunglah menjadi selebriti. Namun sayangnya, kesempatan publikasi dan kampanye gratis tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal oleh para selebriti. Mereka masih terjebak pada pertanyaan wartawan yang juga cenderung bodoh. Misalnya soal dikotomi gender, dukungan keluarga, dan alasan masuk partai.
Padahal sebenarnya ada yang lebih penting dari sekadar itu, yakni masalah substansi partai seperti program kerja dan visi perjuangan. Seorang Arnold Schwarzenegger saja dalam setiap pertemuan dengan wartawan secara lantang selalu menyebutkan program kerjanya yang utama adalah: menyelamatkan California dari kebangkrutan keuangan. Sayang, selebriti kita masih miskin visi dan program kerja.
*Penulis adalah Periset di Lembaga Kajian Media Massa dan Kebudayaan di Bogor, Jawa Barat.
BEBERAPA pekan terakhir, sejumlah tayangan infotainment di televisi partikulir mengusung isu yang lain dari biasanya. Bila selama ini tayangan hiburan tersebut penuh dengan isu kawin-cerai dan kisah cinta para selebriti, pekan-pekan terakhir agak berbeda. Sejumlah infotainment lebih banyak menyoroti kiprah para pesohor itu dalam bidang politik.
Sebut saja Anwar Fuadi. Pekerja sinetron ini lebih dulu membuat heboh dengan mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatra Selatan, kendati akhirnya gagal karena minus dukungan. Gagal menjadi gubernur bukan berarti mundur jauh melainkan nekat mencalonkan untuk posisi nomor satu di Tanah Air. Anwar yang Ketua Umum Persatuan Aktor dan Aktris Sinetron Indonesia (Parsi) ini mencalonkan diri sebagai calon presiden dengan mengikuti konvensi Partai Golkar.
Pelawak Dedi Miing Gumelar juga tak mau kalah. Pengocok perut dari Grup Bagito ini mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk Provinsi Banten. Namun belakangan ia terpaksa membatalkan niatnya karena dalam peraturan tidak membolehkan seseorang yang tinggal di luar Banten dan tidak mempunyai kartu tanda penduduk Banten mencalonkan diri. Padahal, Miing banyak mendapat dukungan dari warga Banten.
Artis lain yang juga serius terjun ke dunia politik adalah Nurul Arifin. Mahasiswa extention ilmu politik Universitas Indonesia dan aktivis perempuan ini memutuskan untuk bergabung dengan Partai Golkar. Kendati dijauhi sejumlah teman sesama aktivis karena masuk Golkar, istri wartawan Mayong Suryo Leksono ini tak gentar untuk berkampanye bagi Partai Beringin.
Artis lain yang juga merambah politik adalah Rieke Diah Pitaloka. Artis yang juga mahasiswa program master filsafat UI ini memutuskan untuk masuk Partai Kebangkitan Bangsa. Sedangkan Emilia Contessa lebih memilih Partai Persatuan Pembangunan. Sebelumnya artis Wanda Hamidah dan Pong Harjatmo telah lebih dulu masuk Partai Amanat Nasional.
Masuknya para selebriti ke dunia politik sebenarnya cukup menggembirakan, kendati pada masa Orde Baru juga tak sedikit para pesohor yang terjun ke dunia politik. Misalnya tokoh musik dangdut Rhoma Irama yang sempat duduk sebagai anggota MPR mewakili Partai Golkar dan aktor Sophan Sophiaan yang sempat mengecap sebagai wakil rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan pada era reformasi sempat menjadi anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun pada masa itu hanya beberapa orang saja yang konsisten. Selebihnya mereka masuk dunia politik hanya untuk mencari aman sebagai akibat pemerintahan yang otoriter.
Tetapi di era reformasi ini, selebriti yang masuk kancah politik lebih didorong karena terbuka peluang dan kesempatan yang didukung bekal pendidikan yang cukup bagus. Mereka tidak hanya mengandalkan keartisannya tetapi juga otak dan perilakunya selama ini di masyarakat.
Tidak salah bila seorang selebriti masuk dunia politik Di luar negeri, khususnya Amerika Serikat, bintang film menjadi politikus bukan barang yang aneh. Misalnya saja Amerika sempat dipimpin Ronald Reagen (92), seorang presiden yang mantan aktor koboi. Aktor Clint Easwood (73) pernah menjabat sebagai Walikota Carmel, California, dan mendiang aktor Sony Bono pernah menduduki kursi Walikota Palm Springs. Di tingkat Asean, Filipina juga pernah dipimpin mantan aktor Josef Estrada. Paling mutakhir di Amerika, aktor laga Arnold Schwarzenegger mencalonkan diri sebagai Gubernur California dan telah mengikuti pemilihan 7 Oktober lalu.
Bagi seorang selebriti, masuk dunia politik adalah selangkah lebih maju dari profesi lain. Bahkan seorang pengamat politik dari Amerika menyebutkan, gelar magna cum laude dari Harvard saja tak bisa menandingi langkah para selebriti masuk dunia politik. Artinya, buat seorang selebriti untuk masuk dunia politik tak harus mengeluarkan biaya banyak bila dibandingkan dengan calon lain. Sebab mereka tak harus mengeluarkan biaya besar. Karena sosok dan aktivitas artis bagi sebuah media sudah menjadi berita.
Ini bisa dicontohkan dengan kasus di Indonesia. Para selebriti tak harus sibuk membuat konferensi pers yang megah. Bahkan para wartawan tanpa diundang menyatroni rumah mereka. Ini berbeda dengan calon lain dari profesi lain yang harus mengeluarkan biaya banyak hanya untuk sekadar jumpa wartawan. Belum lagi biaya ekstra untuk iklan di media massa yang sangat mahal. Lihat saja Surya Paloh, untuk kampanye pencalonan dirinya sebagai presiden melalui konvensi Partai Golkar ia harus mengeluarkan kocek sebesar Rp 1 miliar untuk kunjungan ke daerah plus pesawat jet pribadi jenis BAE.
Beruntunglah menjadi selebriti. Namun sayangnya, kesempatan publikasi dan kampanye gratis tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal oleh para selebriti. Mereka masih terjebak pada pertanyaan wartawan yang juga cenderung bodoh. Misalnya soal dikotomi gender, dukungan keluarga, dan alasan masuk partai.
Padahal sebenarnya ada yang lebih penting dari sekadar itu, yakni masalah substansi partai seperti program kerja dan visi perjuangan. Seorang Arnold Schwarzenegger saja dalam setiap pertemuan dengan wartawan secara lantang selalu menyebutkan program kerjanya yang utama adalah: menyelamatkan California dari kebangkrutan keuangan. Sayang, selebriti kita masih miskin visi dan program kerja.
*Penulis adalah Periset di Lembaga Kajian Media Massa dan Kebudayaan di Bogor, Jawa Barat.
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada