Skip to main content

Jurnalis Berita Kriminal Televisi Overdosis

Waspada Online, 22 Mei 2004

SEORANG teman yang juga jurnalis media cetak untuk pertama kalinya ditugasi redakturnya untuk meliput berita kriminal di Jakarta. Namun, baru beberapa hari bertugas di lapangan ia sudah disuguhi keanehan yang terus mengusik batinnya. Ia kaget bukan karena angka kriminalitas yang terus naik mengikuti deret ukur tetapi karena kelakuan wartawan, terutama jurnalis televisi yang berpolah melebihi tugas-tugas polisi.

Berikut ini saya kutipkan kegelisahan teman tersebut yang dicurahkannya lewat milis: Beberapa hari yang silam saya meliput seorang penodong yang tertangkap di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Saya yang mendapat informasi langsung ke tempat kejadian perkara. dan bersama teman-teman wartawan lain kemudian ke Polsek Pasar Minggu. Namun, tiba-tiba seorang teman dari stasiun televisi langsung menggebuki tersangka yang sudah lemas karena dihajar massa. Tingkah arogan sang wartawan kemudian ditegur rekan lainnya. Namun sang wartawan tak kalah garang menjawab: "Orang kayak gini mestinya mati aja."

Kekagetan sang teman kembali memuncak ketika sejumlah wartawan televisi beramai-ramai menjambak rambut tersangka dengan alasan agar kelihatan mukanya demi sebuah gambar yang bagus dan berbicara. Sang teman kemudian pulang ke kantor dan menulis berita tersebut sambil terus diganggu ulah sang wartawan yang menggebuki penodong dan menjambak rambutnya demi sebuah gambar yang 'bagus'.

Kasus yang sama juga pernah terjadi ketika segerombolan wartawan berada di Pusat Informasi Penguasa Darurat Militer Nanggroe Aceh Darussalam. Saat itu TNI baru saja menangkap dua orang yang diduga sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, tiba-tiba seorang wartawan perempuan dari stasiun televisi partikelir yang dikirim langsung dari Jakarta dan sehari-harinya meliput berita kriminal menyeletuk: "Tembak saja, Pak! Biar ada gambar bagus untuk dikirim ke Jakarta." Celetukan tersebut kontan mengagetkan wartawan lain yang ada di ruangan tersebut. Berhari-hari kasus tersebut menjadi gunjingan dan bahan diskusi di milis. Belakangan, wartawan tersebut ditarik dari Aceh dan tidak tampak lagi meliput.

Sedemikan parahkah para jurnalis televisi, khususnya yang sehari-hari meliput berita kriminal? Kendati bukan bermaksud memukul rata, dua kasus tersebut sudah menjadi bukti ada permasalahan yang serius dengan peliputan berita kriminal untuk konsumsi televisi.

Lahirnya Arogansi
Dari pengamatan di lapangan ada beberapa hal yang menyebabkan jurnalis berita kriminal televisi sering bertindak di luar kewajaran. Pertama, persaingan yang sangat ketat. Semua televisi swasta mempunyai program berita kriminal. Bahkan berita kriminal tidak hanya dalam program khusus, berita reguler juga seperti Liputan 6 Malam SCTV selalu disisipi berita kriminal.

Persaingan yang cukup ketat antarstasiun televisi kemudian memaksa wartawan di lapangan untuk bekerja keras. Mereka berusaha untuk menghadirkan berita seeksklusif mungkin. Bahkan demi eksklusivitas ada wartawan dari media tertentu berusaha untuk memisahkan diri dari gerombolan wartawan berita kriminal lainnya.

Saat penulis ikut observasi ke lapangan, bahkan ada watawan sebuah stasiun televisi yang mengoperasikan dua mobil khusus untuk meliput berita kriminal. Belakangan diketahui, sebuah mobil sengaja digunakan untuk menjebak reporter lain. Seolah-olah mobil tersebut untuk meliput. ternyata yang ke tempat kejadian perkara mobil yang satunya lagi. Akibatnya banyak wartawan dari televisi lain yang gigit jari, kecele, karena telah dikibuli.
Bahkan persaingan yang ketat tersebut sempat memaksa Indosiar harus menggalang kerja sama dengan kepolisian dalam peliputan berita-berita kriminal. Kerja sama ini memungkinkan wartawan Indosiar untuk memiliki akses yang mudah dalam peliputan.

Bagi wartawan yang tak mempunyai akses demikian, biasanya mengandalkan kedekatan personal dengan beberapa orang anggota kepolisian di polsek-polsek atau polres. Namun, tidak sedikit juga laporan dari masyarakat yang langsung menelepon ke redaksi.

Kedua, sumber daya manusia yang pas-pasan. Tingginya, kebutuhan akan berita kriminal memaksa televisi sangat terbuka dengan kontributor berita dari daerah-daerah. Demi menghemat biaya, perekrutan kontributor biasanya tidak melalui seleksi yang cukup ketat. Akibatnya, sudah dapat dipastikan kualitas berita dan pengambilan gambar pun jauh dari kaidah-kaidah dan norma-norma jurnalistik.

Ada juga televisi yang mengandalkan koresponden di daerahnya. Namun, koresponden sebenarnya juga sibuk meliput berita reguler. Para koresponden kemudian mengalihkan penugasan berita liputan kriminal kepada seorang amatiran. Intinya yang penting orang tersebut dapat mengoperasikan kamera genggam atau handycam dan mencatat seperlunya data di lapangan. Sedangkan nanti, berita yang dikirimkan ke Jakarta menggunakan nama koresponden yang bersangkutan alias 'koresponden resmi'.

Ketiga, mati rasa atau imun. Bagi wartawan yang meliput berita kriminal, kekerasan, darah, dan tubuh terpotong-potong adalah pemandangan yang biasa. Kebiasaan ini dapat membuat seorang wartawan tidak sensitif lagi terhadap segala bentuk kejahatan. Semuanya akan dianggap wajar. Akibatnya bisa dilihat dari output-nya: berita yang berdarah-darah, brutal, dan vulgar.

Di lain pihak sang editor juga akan kesulitan mengedit gambar bila satu kaset isinya tindak kekerasan semua. Bila kasusnya demikian, sang editor biasanya hanya mengedit seperlunya saja. Sebab kalau diedit semua, bisa-bisa stok berita kriminal akan habis di meja editor. Tidak lucu kan, bila program berita tidak tayang gara-gara kekurangan berita.

Lapangan Kerja Baru
Tingginya akan kebutuhan pasokan berita kriminal sebenarnya membuka peluang kerja, terutama untuk kontributor di daerah-daerah. Bentuk dari tingginya kebutuhan berita kriminal ditunjukkan dengan beberapa bentuk. Sebuah stasiun televisi misalnya, ada yang menayangkan berita kriminal lebih dari dua kali, tentu dengan variasi kemasan berbeda. Bentuk lainnya adalah ada stasiun televisi yang menayangkan berita kriminal yang sudah basi. Padahal peristiwa atau berita yang sama tersebut sudah ditayangkan televisi lain, dua hari sebelumnya.

Menjadi kontributor berita untuk sebuah televisi memang cukup menjanjikan secara materi. Apalagi angka kriminalitas tak pernah mati. Untuk sebuah berita dan gambar berita kriminal pihak televisi rata-rata membayarnya sebesar Rp 250-300 ribu. Bila sehari saja seorang kontributor dapat mengirimkan tiga berita bisa dihitung penghasilan dia sebulan. Pendapatan kontributor tersebut bisa melebihi produsernya di Jakarta. Bahkan nominal rupiah juga bisa bertambah bila berita yang dikirim kontributor tersebut diputar lagi dalam program berita yang lain.

Memang, kriminalitas, seks dan kekerasan sejak zaman nenek moyang selalu mengundang daya tarik. Tak terkecuali untuk tontotan dalam sebuah program televisi. Buktinya, Buser, Patroli atau Pos Kota dan Lampu Merah ditonton dan dibeli orang, dan ternyata laku.

Berita kriminal memang laku dijual. Tetapi di mana tanggung jawab kontributor, koresponden, wartawan, dan pengelola televisi bila ada orang yang bunuh diri atau mencuri karena terinspirasi dari berita kriminal di televisi? Di mana pula tanggung jawab pengelola televisi bila suatu saat pemirsa Indonesia imun atau menganggap biasa sebuah kejahatan karena sering menonton berita kriminal di televisi? Agaknya, ini perlu renungan kita bersama.

*Penulis adalah periset di Lembaga Kajian Media Massa dan Budaya di Bogor, Jawa Barat.

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f