ENTAH kenapa penegak hukum Indonesia lebih senang menggunakan KUHP. Kemungkinannya, para penegak hukum beranggapan bahwa UU Pers lebih memihak kepada institusi pers dan wartawan daripada ke pihak yang dirugikan pers. Dalam Pasal 18 Ayat 2 disebutkan: Perusahaan pers yang memberitakan peristiwa dan opini dengan tidak menghormati norma-norma agama, rasa kesusilaan masyararakat, asas praduga tak bersalah, serta tidak melayani hak jawab dikenai pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonis mantan Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka dengan hukuman lima bulan penjara dengan masa percobaan sepuluh bulan, baru-baru ini membuat kalangan pers nasional tersentak. Semuanya hampir berteriak serempak: Masa depan pers Indonesia terancam!
Karim didakwa menyerang kehormatan atau nama baik Ketua DPR Akbar Tandjung dalam karikatur Rakyat Merdeka edisi 8 Januari 2002. Dalam karikatur tersebut digambarkan Akbar yang tersangkut kasus korupsi dana nonbujeter Bulog bertelanjang dada, banjir peluh, sedih, plus judul "Akbar Segera Dihabisi, Golkar Nangis Darah". Dalam versi Karim, karikatur tersebut sebagai gambaran Akbar yang tengah dibelit masalah rumit.
Namun sepertinya, pihak Akbar dan jaksa penuntut umum sepaham bahwa karikatur itu adalah penghinaan.
Insan pers pantas berteriak hingga urat leher menegang menanggapi vonis tersebut karena jurnalis yang terancam dibui pada era reformasi ini bukan hanya Karim Paputungan. Sebelumnya, Pemred Majalah Matra Nano N Riantiarno dihukum lima bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan. Nano divonis dengan dakwaan menyebarluaskan gambar yang menyinggung kesusilaan dalam sampul Matra edisi Juni-Juli 1999.
Tidak sampai di situ, sejumlah wartawan juga kini tengah menungu vonis. Mereka yang antre itu adalah Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Soepratman. Dia didakwa menyerang kehormatan Presiden Megawati Sukarnoputri dengan berita di Rakyat Merdeka. Judul dan sekaligus isinya yang dipermasalahkan adalah "Mulut Mega Bau Solar" (6/1/2003), "Mega Lintah Darat" (8/1), "Mega Lebih Ganas Dari Sumanto" (30/1), dan "Mega Cuma Sekelas Bupati" (4/2). Gara-gara itu Soepratman dituntut hukuman satu tahun penjara.
Wartawan lainnya yang tersangkut kasus pidana adalah Pemred Majalah Tempo Bambang Harymurti dan wartawan Ahmad Taufik serta Iskandar Ali. Ketiganya dituduh menyebarkan berita bohong yang bisa menyebabkan keonaran serta mencemarkan nama baik seseorang dengan ancaman penjara maksimal 10 tahun penjara. Tulisan yang bermasalah itu dalam Tempo edisi 3-9 Maret 2003 yang menulis dugaan keterlibatan pengusaha Tomi Winata atas terbakarnya Pasar Tanah Abang dengan judul "Ada Tomi Di Tenabang?"
Warisan Kolonial
Bila dirunut dari sejarahnya, pemenjaraan wartawan di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial, diteruskan Orde Lama, diwariskan ke Orde Baru, dan anehnya juga dipraktikkan di era reformasi. Pemerintahan kolonial sejak 1856 sudah mengeluarkan sejumlah pembatasan terhadap pers dalam bentuk kebijakan.
Pertama, sarana yuridis yang berupa sensor preventif, ketentuan pidana yang represif, dan kewajiban tutup mulut bagi pegawai pemerintah. Kedua, dalam bentuk perangkat administratif seperti sistem perizinan yang dipersulit, sistem agunan, dan lisensi atau rekomendasi. Ketiga, sarana-sarana ekonomi berupa pemungutan pajak atas kertas dan iklan, serta modal minimal pendirian sebuah perusahaan media. Keempat, sarana-sarana sosial biasanya berupa peringatan, propaganda, penerangan, dan sensor. (Mirjam Maters 2003:11).
Sedangkan penggunaan Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menjerat para jurnalis berlaku sejak 1918. Isi KUHP yang banyak memakan korban adalah Pasal 154-157 tentang Delik Penyebar Kebencian (haatzaai artikelen) dan Pasal 207-208 tentang Delik Terhadap Kekuasaan Negara. Pasal-pasal ini juga yang digunakan untuk memenjarakan wartawan di masa Orde Lama, Orde Baru, dan kini di era reformasi.
Ironisnya, KUHP yang sudah dua abad itu masih menjadi rujukan hakim dan jaksa di Indonesia. Padahal, pemerintah Belanda saja sudah beberapa kali merevisinya. Pertanyannya sekarang, masih pantaskah kita menggunakan KUHP untuk delik pers? Inilah yang sekarang menjadi perdebatan di kalangan praktisi hukum dan insan pers nasional.
Undang-undang Pers
Kalangan jurnalis menginginkan hakim menggunakan Undang-undang No 40 Tahun 1999 untuk memutus kasus-kasus yang ada kaitannya dengan delik pers. Menurut mereka, Undang-undang Pers itu sudah cukup untuk menindak sejumlah pelanggaran yang dilakukan wartawan atau institusi pers.
Namun, entah kenapa penegak hukum Indonesia lebih senang menggunakan KUHP. Kemungkinannya, para penegak hukum beranggapan bahwa UU Pers lebih memihak kepada institusi pers dan wartawan daripada ke pihak yang dirugikan pers. Dalam Pasal 18 Ayat 2 disebutkan: Perusahaan pers yang memberitakan peristiwa dan opini dengan tidak menghormati norma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat, asas praduga tak bersalah, serta tidak melayani hak jawab dikenai pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Sedangkan dalam Pasal 18 Ayat 1 menyebutkan: Setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi seperti melakukan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Special Privilege
UU Pers memang tidak menyediakan hukuman penjara bagi institusi pers atau wartawan yang melanggar. Namun, bukan berarti wartawan steril dari jerat hukum. Tetapi, sebagian kalangan wartawan memang berpendapat bahwa pers harus diberikan hak khusus dalam tuntutan hukum. Anggapannya, pers itu identik dengan kebebasan berbicara dan berpendapat. Dan, kebebasan itu tidak boleh dibungkam sebagaimana dijamin UU Dasar 1945 Pasal 28F: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Tetapi sebagian kalangan beranggapan special privilage itu tidak perlu. Sebab, hak istimewa ini malah akan menjadi alat perlindungan wartawan dalam perbuatan delik lainnya. Intinya, kebebasan pers itu tetap ada batasnya. Sebab, ketika hak seseorang dilanggar seperti karena penyiaran berita bohong atau fitnah, di sana, mau tidak mau, KUHP akan menjerat seorang jurnalis.
Bagi masyarakat yang merasa dirugikan pers, sebenarnya banyak jalur yang dapat ditempuh. Komisi I DPR dan Dewan Pers dalam Dengar Pendapat Umum pada 6 Juni 2000 memberikan saluran bagi masyarakat yang teraniaya oleh pers dengan menempuh sejumlah alternatif.
Pertama, penyelesaian melalui penggunaan hak jawab. Jalur ini memberikan kesempatan kepada masyarakat atau kelompok yang merasa dirugikan pers dengan memberikan bantahan. Cara ini lebih praktis dan murah. Namun dalam pelaksanaannya, hak jawab ini oleh media kerap hanya dimuat pada Surat Pembaca. Padahal sebenarnya, hak jawab juga bisa dimuat di halaman yang sama, kolom yang sama, bahkan panjang naskahnya juga bisa sama dengan tulisan yang dibantah. Karena itu, kerap hak jawab tidak efektif dan tidak memuaskan.
Kedua, penyelesaian melalui Dewan Pers. Bila alternatif pertama berupa hak jawab tidak memuaskan, kedua pihak bisa menggunakan Dewan Pers sebagai mediator. Jalur ini biayanya ringan tetapi prosesnya lebih lama dibandingkan dengan proses hak jawab karena kalau sudah menyangkut lembaga ini pasti melibatkan banyak orang. Dewan Pers biasanya mencari win-win solution di antara pihak yang bertikai.
Ketiga, lewat pengadilan. Jalur ini membutuhkan waktu yang panjang dan melelahkan serta biaya yang tidak sedikit. Keputusan akhir hanya memuaskan satu pihak karena bersifat menang-kalah.
Keempat, boikot media pers (social punishment). Cara ini sebenarnya cukup ampuh minimal dengan tidak membeli media tersebut. Cara ini sebenarnya sangat mudah dilakukan dibandingkan menyelesaikan kasus lewat pengadilan.
Bila pengadilan yang ditempuh, alih-alih yang terjadi malah lembaga pers yang digugat akan terkenal di masyarakat dan secara tidak langsung proses gugatan itu malah mengiklankan media bersangkutan secara gratis. Pembaca juga harus tahu bahwa tidak semua media itu mempunyai oplah yang banyak.
Pembaca juga harus tahu bahwa media sensasional itu pada umumnya tirasnya sangat kecil dan mereka sangat tergantung pada penjualan oplah. Karena, mereka tak bisa mengandalkan penghidupannya dari iklan. Dengan tahu riwayat media bersangkutan kiranya mereka yang merasa dirugikan sebuah media pers tak harus ribut-ribut menggugat ke pengadilan karena masih ada pilihan yang lebih rasional dan murah.
*Penulis adalah periset di Lembaga Kajian Media Massadan Budaya Bogor, Jawa Barat
Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonis mantan Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka dengan hukuman lima bulan penjara dengan masa percobaan sepuluh bulan, baru-baru ini membuat kalangan pers nasional tersentak. Semuanya hampir berteriak serempak: Masa depan pers Indonesia terancam!
Karim didakwa menyerang kehormatan atau nama baik Ketua DPR Akbar Tandjung dalam karikatur Rakyat Merdeka edisi 8 Januari 2002. Dalam karikatur tersebut digambarkan Akbar yang tersangkut kasus korupsi dana nonbujeter Bulog bertelanjang dada, banjir peluh, sedih, plus judul "Akbar Segera Dihabisi, Golkar Nangis Darah". Dalam versi Karim, karikatur tersebut sebagai gambaran Akbar yang tengah dibelit masalah rumit.
Namun sepertinya, pihak Akbar dan jaksa penuntut umum sepaham bahwa karikatur itu adalah penghinaan.
Insan pers pantas berteriak hingga urat leher menegang menanggapi vonis tersebut karena jurnalis yang terancam dibui pada era reformasi ini bukan hanya Karim Paputungan. Sebelumnya, Pemred Majalah Matra Nano N Riantiarno dihukum lima bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan. Nano divonis dengan dakwaan menyebarluaskan gambar yang menyinggung kesusilaan dalam sampul Matra edisi Juni-Juli 1999.
Tidak sampai di situ, sejumlah wartawan juga kini tengah menungu vonis. Mereka yang antre itu adalah Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Soepratman. Dia didakwa menyerang kehormatan Presiden Megawati Sukarnoputri dengan berita di Rakyat Merdeka. Judul dan sekaligus isinya yang dipermasalahkan adalah "Mulut Mega Bau Solar" (6/1/2003), "Mega Lintah Darat" (8/1), "Mega Lebih Ganas Dari Sumanto" (30/1), dan "Mega Cuma Sekelas Bupati" (4/2). Gara-gara itu Soepratman dituntut hukuman satu tahun penjara.
Wartawan lainnya yang tersangkut kasus pidana adalah Pemred Majalah Tempo Bambang Harymurti dan wartawan Ahmad Taufik serta Iskandar Ali. Ketiganya dituduh menyebarkan berita bohong yang bisa menyebabkan keonaran serta mencemarkan nama baik seseorang dengan ancaman penjara maksimal 10 tahun penjara. Tulisan yang bermasalah itu dalam Tempo edisi 3-9 Maret 2003 yang menulis dugaan keterlibatan pengusaha Tomi Winata atas terbakarnya Pasar Tanah Abang dengan judul "Ada Tomi Di Tenabang?"
Warisan Kolonial
Bila dirunut dari sejarahnya, pemenjaraan wartawan di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial, diteruskan Orde Lama, diwariskan ke Orde Baru, dan anehnya juga dipraktikkan di era reformasi. Pemerintahan kolonial sejak 1856 sudah mengeluarkan sejumlah pembatasan terhadap pers dalam bentuk kebijakan.
Pertama, sarana yuridis yang berupa sensor preventif, ketentuan pidana yang represif, dan kewajiban tutup mulut bagi pegawai pemerintah. Kedua, dalam bentuk perangkat administratif seperti sistem perizinan yang dipersulit, sistem agunan, dan lisensi atau rekomendasi. Ketiga, sarana-sarana ekonomi berupa pemungutan pajak atas kertas dan iklan, serta modal minimal pendirian sebuah perusahaan media. Keempat, sarana-sarana sosial biasanya berupa peringatan, propaganda, penerangan, dan sensor. (Mirjam Maters 2003:11).
Sedangkan penggunaan Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menjerat para jurnalis berlaku sejak 1918. Isi KUHP yang banyak memakan korban adalah Pasal 154-157 tentang Delik Penyebar Kebencian (haatzaai artikelen) dan Pasal 207-208 tentang Delik Terhadap Kekuasaan Negara. Pasal-pasal ini juga yang digunakan untuk memenjarakan wartawan di masa Orde Lama, Orde Baru, dan kini di era reformasi.
Ironisnya, KUHP yang sudah dua abad itu masih menjadi rujukan hakim dan jaksa di Indonesia. Padahal, pemerintah Belanda saja sudah beberapa kali merevisinya. Pertanyannya sekarang, masih pantaskah kita menggunakan KUHP untuk delik pers? Inilah yang sekarang menjadi perdebatan di kalangan praktisi hukum dan insan pers nasional.
Undang-undang Pers
Kalangan jurnalis menginginkan hakim menggunakan Undang-undang No 40 Tahun 1999 untuk memutus kasus-kasus yang ada kaitannya dengan delik pers. Menurut mereka, Undang-undang Pers itu sudah cukup untuk menindak sejumlah pelanggaran yang dilakukan wartawan atau institusi pers.
Namun, entah kenapa penegak hukum Indonesia lebih senang menggunakan KUHP. Kemungkinannya, para penegak hukum beranggapan bahwa UU Pers lebih memihak kepada institusi pers dan wartawan daripada ke pihak yang dirugikan pers. Dalam Pasal 18 Ayat 2 disebutkan: Perusahaan pers yang memberitakan peristiwa dan opini dengan tidak menghormati norma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat, asas praduga tak bersalah, serta tidak melayani hak jawab dikenai pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Sedangkan dalam Pasal 18 Ayat 1 menyebutkan: Setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi seperti melakukan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Special Privilege
UU Pers memang tidak menyediakan hukuman penjara bagi institusi pers atau wartawan yang melanggar. Namun, bukan berarti wartawan steril dari jerat hukum. Tetapi, sebagian kalangan wartawan memang berpendapat bahwa pers harus diberikan hak khusus dalam tuntutan hukum. Anggapannya, pers itu identik dengan kebebasan berbicara dan berpendapat. Dan, kebebasan itu tidak boleh dibungkam sebagaimana dijamin UU Dasar 1945 Pasal 28F: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Tetapi sebagian kalangan beranggapan special privilage itu tidak perlu. Sebab, hak istimewa ini malah akan menjadi alat perlindungan wartawan dalam perbuatan delik lainnya. Intinya, kebebasan pers itu tetap ada batasnya. Sebab, ketika hak seseorang dilanggar seperti karena penyiaran berita bohong atau fitnah, di sana, mau tidak mau, KUHP akan menjerat seorang jurnalis.
Bagi masyarakat yang merasa dirugikan pers, sebenarnya banyak jalur yang dapat ditempuh. Komisi I DPR dan Dewan Pers dalam Dengar Pendapat Umum pada 6 Juni 2000 memberikan saluran bagi masyarakat yang teraniaya oleh pers dengan menempuh sejumlah alternatif.
Pertama, penyelesaian melalui penggunaan hak jawab. Jalur ini memberikan kesempatan kepada masyarakat atau kelompok yang merasa dirugikan pers dengan memberikan bantahan. Cara ini lebih praktis dan murah. Namun dalam pelaksanaannya, hak jawab ini oleh media kerap hanya dimuat pada Surat Pembaca. Padahal sebenarnya, hak jawab juga bisa dimuat di halaman yang sama, kolom yang sama, bahkan panjang naskahnya juga bisa sama dengan tulisan yang dibantah. Karena itu, kerap hak jawab tidak efektif dan tidak memuaskan.
Kedua, penyelesaian melalui Dewan Pers. Bila alternatif pertama berupa hak jawab tidak memuaskan, kedua pihak bisa menggunakan Dewan Pers sebagai mediator. Jalur ini biayanya ringan tetapi prosesnya lebih lama dibandingkan dengan proses hak jawab karena kalau sudah menyangkut lembaga ini pasti melibatkan banyak orang. Dewan Pers biasanya mencari win-win solution di antara pihak yang bertikai.
Ketiga, lewat pengadilan. Jalur ini membutuhkan waktu yang panjang dan melelahkan serta biaya yang tidak sedikit. Keputusan akhir hanya memuaskan satu pihak karena bersifat menang-kalah.
Keempat, boikot media pers (social punishment). Cara ini sebenarnya cukup ampuh minimal dengan tidak membeli media tersebut. Cara ini sebenarnya sangat mudah dilakukan dibandingkan menyelesaikan kasus lewat pengadilan.
Bila pengadilan yang ditempuh, alih-alih yang terjadi malah lembaga pers yang digugat akan terkenal di masyarakat dan secara tidak langsung proses gugatan itu malah mengiklankan media bersangkutan secara gratis. Pembaca juga harus tahu bahwa tidak semua media itu mempunyai oplah yang banyak.
Pembaca juga harus tahu bahwa media sensasional itu pada umumnya tirasnya sangat kecil dan mereka sangat tergantung pada penjualan oplah. Karena, mereka tak bisa mengandalkan penghidupannya dari iklan. Dengan tahu riwayat media bersangkutan kiranya mereka yang merasa dirugikan sebuah media pers tak harus ribut-ribut menggugat ke pengadilan karena masih ada pilihan yang lebih rasional dan murah.
*Penulis adalah periset di Lembaga Kajian Media Massadan Budaya Bogor, Jawa Barat
Comments
Post a Comment
Anda Berkomentar Maka Saya Ada