Skip to main content

Apa Kabar Radio Kampus?

Sinar Harapan, Sabtu 25 Juni 2002

IDEALNYA radio kampus berada di garda depan sebagai penggerak proses demokratisasi di Indonesia. Sayangnya, radio kampus di Indonesia tak punya ruh dan kekuatan untuk menyebarkan isu hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan demokrasi.

Dari beberapa literatur yang ada, tidak banyak ditemukan tulisan yang mengupas perkembangan radio mahasiswa. Kebanyakan tulisan mengupas seputar pers mahasiswa, itu pun hanya sebatas media cetak. Data mengenai radio kampus pun sulit didapat. Jadi sulit untuk memetakan kekuatan radio mahasiswa.

Kendala Radio Kampus

Dari hasil obrolan dengan pengelola radio kampus, seperti Radio Teknik Club (RTC) UI, Stupa (Universitas Pancasila), dan Sintesa (Institut Sains dan Teknologi Nasional), terungkap banyak kendala yang menghimpit radio kampus, berupa kendala teknis dan psikologis.

Pertama, pemerintah tidak menyediakan frekuensi khusus untuk radio kampus. Frekuensi ternyata telah dikapling-kapling oleh swasta. Akibatnya, radio kampus terpaksa harus bergerilya mencari frekuensi “nganggur” atau menunggu radio swasta selesai siaran.Mungkin yang sangat beruntung adalah radio teman-teman mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, yang mendapat hibah frekuensi dari Menteri Perhubungan di era Orde Baru Soesilo Soedarman. Radio Kampus EBS UNHAS 107,2 Mhz kini mengudara dengan frekuensi resmi.

Kedua, kontinuitas. Banyak radio kampus yang sulit berkembang karena sibuk dengan kegiatan kuliah. Siaran terpaksa batal gara-gara bentrok dengan ujian. Atau karena “proyek terimakasih”, banyak teman-teman yang siaran malas-malasan, kecuali pendirinya, karena ia punya ikatan emosional sehingga punya rasa tanggung jawab yang tinggi (sense of belonging).

Ketiga, sumber daya yang pas-pasan. Mahasiswa kebanyakan modal semangat. Saking semangatnya kadang lupa otak tak pernah diisi. Pelatihan tak pernah diadakan. Acaradan teknik siaran pun seadanya. Keempat, teknologi yang pas-pasan. Kebanyakan radio-radio kampus hasil kreatif anak-anak teknik. Misalnya di Universitas Pancasila, UI, dan ISTN, semua “arsiteknya” anak-anak teknik dengan bantuan peralatan seadanya.

Kelima, modal yang pas-pasan. Untuk biaya operasional banyak keluar dari kocek sendiri. Atau kalau seperti UI, mereka mencari donatur dari para alumni. Tetapi lebih banyak radio kampus yang sekadar menyebarkan kartu request yang dijual pada teman-teman kampus sendiri. Namun, itu tidaklah cukup untuk membiayai telepon dan listrik serta perawatan alat yang sering rusak. Karena itu, dalam sebuah seminar di Yogyakarta, Direktur Indonesia Media Law and Police Center (IMLPC) Hinca I.P. Panjaitan menyarankan agar radio kampus menjadi unit kegiatan mahasiswa (UKM). Dengan begitu, akan mendapatkan dana rutin dari lembaga dana atau pun rektorat. Mahasiswa juga harus selalu berkomunikasi dengan rektor agar program radio di kampus dapat berjalan lancar.

Keenam, positioning radio kampus tidak jelas. Acaranya tidak terprogram dan tidak bervariasi. Karena acaranya tidak menarik, dengan sendirinya ditinggalkan pendengarnya. Ketujuh, karena memang kampus sendiri yang tidak menghendaki atau mendukung berdirinya radio kampus. Ini banyak dirasakan teman-teman di daerah. Banyak yang kampusnya tidak mengizinkan berdirinya radio kampus, entah apa alasannya. Hal ini tidaklah rasional dan sama sekali tidak masuk akal. Radio kampus sendiri paling tidak akan mewarnai kegiatan mahasiswa di kampus, bahkan bisa menjadi laboratorium bagi mahasiswa di kampus. Tidaklah terlalu sulit untuk mendirikan radio. Tak masalah mendirikan radio ilegal pun. Karena selama ini mahasiswa tidak mendapat keadilan—dengan tidak disediakannya frekuensi khusus untuk mahasiswa.

Kekhawatiran PRSSNI

Belakangan malah keberadaan lembaga penyiaran komunitas (LPK) yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Penyiaran itu ditolak pemerintah dan Perusahaan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI). Ketua PRSSNI Gandjar Suwargani bahkan menyebutkan LPK itu sebagai pesanan pihak asing. Gandjar juga menuding penyiaran komunitas, termasuk di dalamnya radio mahasiswa, akan merusak nasionalisme dan menumbuhkan konflik di kalangan akar rumput.

Sementara itu, pemerintah memberi alasan: masyarakat belum siap, kebutuhan LPK masih dapat dipenuhi dua lembaga penyiaran lainnya, dan terakhir LPK mengakibatkan pemborosan penggunaan spektrum frekuensi.Kekhawatiran PRSSNI itu memang cukup beralasan karena ini berkaitan dengan ketakutan penyelenggara siaran radio swasta di daerah, kue iklannya bakal terbagi. Lebih-lebih para pakar dan praktisi periklanan kini lebih banyak menggunakan konsep komunitas. Artinya, para pemasang iklan beralasan, memasang iklan di media yang berbasis komunitas lebih efektif dan efisien untuk produk tertentu.

Dalam catatan kritisnya untuk RUU Penyiaran, Persatuan Periklanan Indonesia (P3I) mempertanyakan kenapa LPK tak diperbolehkan menyiarkan iklan, kecuali iklan layanan masyarakat. Dalam perspektif dunia periklanan, LPK padahal justru merupakan pasar yang pas untuk memasyarakatkan produk-produk tertentu, misalnya, radio kampus. Iklan yang segmen pasarnya mahasiswa sangat tepat jika dipromosikan melalui radio kampus.

Terlepas dari itu semua, radio mahasiswa memang harus membumi. Sebagai lembaga penyiaran yang berada di lingkungan institusi pendidikan, tentu saja radio kampus tak bisa lepas dari konsep akademik, ilmiah, kritis, serta peduli akan lingkungan dan masyarakat.

*Penulis adalah pengelola sebuah radio komunitas di Bogor, Jawa Barat, serta periset pada Lembaga Kajian Media Massa dan Budaya

Comments

Popular posts from this blog

Anggota Dewan (Memang) Sontoloyo!

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti. Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini. Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max. Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu. Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori

Pak tua bijak di stasiun Depok Lama

TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang. Saya sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini saya sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginan. Saya memilih bergeming. Sekali-kali saya tidak berbuat baik, boleh kan? Nggak jahat kan? Saya juga tak mau dicap zalim kepada diri sendiri. Sumpah karena kondisi saya sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batin saya. Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga. Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Se

Kereta Jepang nularin maniak seks?

ADAKAH yang pernah melihat seorang perempuan cantik dan lumayan seksi uring-uringan atau marah-marah karena merasa dilecehkan di kereta commuterline terutama pada jam-jam sibuk? Kalau tidak berarti kamu bukan anker (anak kereta) atau KRL mania. Jam padat, pada pagi hari atau petang adalah saatnya para maniak seks beroperasi. Sasarannya perempuan kantoran yang roknya lumayan mini dan tentu saja bahenol nerkom alias bohay pisan. Bukan yang (maaf) tepos mutlak. Kadang begitulah pantat tepos juga masih ada untungnya. Bagi saya yang normal, apa enaknya ya gesek-gesek pantat orang. Tapi itulah kehidupan di dunia. Bagi kita yang normal kelakuan primitif mereka aneh. Tapi sebaliknya bagi mereka yang suka gesek-gesek pantat orang, perilaku orang normal yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan memuaskan berahinya di tengah impitan dan dempetan penumpang justru dianggap abnormal. Gelo sia! Saya mengira perbuatan gesek-menggesek bahkan meremas-remas pantat orang di kereta itu hanya ada di f